Belitung merupakan sebuah pulau yang masuk dalam salah satu daftar tempat yang ingin saya kunjungi. Saya tertarik dengan Pulau Belitung semenjak film Laskar Pelangi tayang. September tahun lalu saya sudah merencanakan untuk traveling ke Pulau Belitung. Namun, ternyata saya malah kepincut dengan sakura Sumba dan pergilah saya ke tana Humba yang eksotis, negeri Marapu.
Tanpa disangka, September tahun ini saya bisa melakukan perjalanan panjang dari Timur menuju ke Barat. Bukan perjalanan untuk mengambil kitab suci, melainkan mengikuti acara kantor yang plusnya bisa menikmati aroma laut Pulau Belitung.
Berangkat dari Makassar dan harus transit dulu ke Jakarta, setibanya di Jakarta lanjut penerbangan menuju bandara H.A.S. Hanandjoeddin di Tanjung Pandan. Sampainya di bandara, saya dan beberapa teman kantor langsung menuju hotel BW Suite tempat menginap selama di Pulau Belitung dengan menggunakan taksi setempat.
Selama perjalanan dari bandara menuju hotel, saya sengaja membuka kaca jendela mobil untuk menghidu sebanyak-banyaknya udara Pulau Belitung yang lama saya nantikan. Hahahaha. Driver kami mulai cerita tentang Pulau Belitung yang kaya timahnya. Pulau Belitung yang lada putihnya melimpah. Pulau Belitung yang indah laut dan pantainya. Pulau Belitung yang ramah, aman dan bersahaja.
Mayoritas penduduk yang tinggal di Pulau Belitung adalah suku Melayu yang bertutur dengan Bahasa Melayu dengan dialek Belitung. Saat ada penduduk setempat berbicara, saya pasang telinga untuk mendengarkan dialek mereka. Sayangnya, telinga saya masih terngiang-ngiang dengan cara bertutur orang Makassar, sehingga terdistorsi lah Bahasa keduanya di telinga saya. :D
Saya suka dengan atmosfer Pulau Belitung. Setelah check in, saya dan beberapa teman berencana naik sepeda yang bisa disewa dari hotel untuk hunting makanan. Yesss, we travel for foods, jangan lupa itu. Tapi, karena jumlah sepeda terbatas, saya dan seorang teman terpaksa jalan kaki menuju mie Atep di jalan Sriwijaya. Kami kira jarak tempat makan mie Atep dari hotel sekitar satu kilometer, namun ternyata lebih. Kami berdua pun berjalan menikmati atmosfer malam kota Tanjung Pandan.
Sepanjang perjalanan kami mengobrol untuk memecah kesunyian jalanan kota. Tidak banyak lampu yang dipasang di setiap sudut jalan. Hanya cahaya bulan dan lampu warga sekitar yang menerangi jalanan. Sepanjang perjalanan menuju mie Atep. Sesekali kami bertatap mata dengan anjing yang duduk-duduk di tepi jalan. Kami pun tancap gas alias jalan setengah berlari karena takut kalau dikejar anjing (tapi kayaknya anjingnya yang takut sama kami). Hahahaha...
Bagi saya, Tanjung Pandan itu kota yang ramah pejalan kaki. Meskipun lampu jalan masih minim sehingga menimbulkan kesan agak horor, tapi trotoarnya bersih sehingga bisa dengan nyaman dimanfaatkan oleh pejalan kaki.
Para pengguna jalan yang memakai mesin bermotor juga selalu melambatkan kendaraannya saat melintas jika pejalan kaki ingin lewat. Akhirnya, kami pun sampai di tempat makan mie Atep di jalan Sriwijaya. Kami pun segera memesan seporsi mie Atep dengan segelas es jeruk kunci dan langsung melahapnya. Jalan kaki dari hotel ke tempat ini membuat lapar tingkat nesyenel. :D
Mie Atep adalah makanan khas Belitung yang disajikan dengan cara sederhana. Mie kuning yang ditata sedemikian rupa di piring dan dilengkapi dengan taburan taoge, irisan timun, kentang rebus yang sudah dipotong menyerupai dadu, beberapa potong bakwan udang, kemudian disiram kuah kental yang berwarna kecoklatan nan gurih.
Tak lupa diberi toping berupa emping melinjo yang menambah cita rasa tersendiri. Ada juga beberapa ekor udang yang bisa ditemukan dalam sepiring sajian mie Atep ini. Bagi saya yang suka pedas, rasa kuah mie ini lumayan manis. Namun ketika ditambah dengan beberapa sendok sambal, perpaduan rasanya jadi sempurna.