Data Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan bahwa pada periode tahun 2020 s.d 2030, jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) akan mencapai 70 persen, sedangkan sisanya 30 persen adalah penduduk yang tidak produktif dengan rentang usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun (sumber Bonus Demografi dan Petani ). Bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa pada tahun 2035, dengan laju pertumbuhan pendududk sekitar 0.62, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan mencapai angka 305.6 juta (sumber Bappenas : Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia).
Struktur penduduk dengan dominasi kelompok usia produktif inilah yang sering disebut sebagai "bonus demografi" atau "demographic deviden" yang dipahami sebagai suatu fenomena struktur penduduk yang dapat memberikan keuntungan dalam pembangunan bangsa karena jumlah penduduk usia produktifnya sangat besar dibandingkan dengan usia muda (<15 tahun) dan usia lanjut (65+).
Berbagai teori dan paparan disampaikan oleh para ahli dan pengambil kebijakan, bahwa periode bonus demografi ini akan sangat menentukan perjalan bangsa ke depan. Di tahun 2045, menjelang perayaan 100 tahun Indonesia Merdeka, generasi yang sekarang berusia antara 0 - 19 tahun, akan berada pada rentang usia yang produktif, merekalah yang akan menjadi pelaku pembangunan, baik itu di sektor swasta, BUMN, politisi, birokrat dan bidang lainnya. Karena itu, periode bonus demografi dipandang sebagai periode yang dapat memberikan keuntungan, dimana pada periode ini akan tersedia banyak angkatan kerja produktif.
Lantas akan seperti apa dampak periode "bonus demografi" tersebut terhadap sektor pertanian?
Dilema Import Komoditas Pertanian
Dari aspek pertambahan Jumlah penduduk, kecenderungannya selalu menunjukan grafik peningkatan, proyeksi BAPPENAS pada tahun 2035, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai angka 305.6 juta. Ini artinya bahwa jumlah orang yang membutuhkan pangan akan semakin banyak atau dengan kata lain, kebutuhan pangan nasional akan semakin meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan ini mutlak ditopang oleh sektor pertanian. Namun dalam perkembangannya, kebijakan pemenuhan pangan nasional lebih banyak dilakukan melalui import komoditas hasil pertanian yang dihasilkan oleh petani luar negeri.
Pada tahun 2015 (Januari - Agustus), pemerintah melalukan import 8 komoditas pertanian dengan nilai sebesar US$ 3,5 miliar, atau sekitar Rp 51 triliun. Komoditas dimaksud antara lain : 1) Beras 225.029 ton dengan nilai US$ 97,8 juta, 2) Jagung 2,3 juta ton dengan nilai US$ 522,9 juta, 3) Kedelai 1,52 juta ton dengan nilai US$ 719,8 juta, 4) Biji gandum dan meslin 4,5 juta ton dengan nilai US$ 1,3 miliar, 5) Tepung terigu 61.178 ton dengan nilai US$ 22,3 juta, 6) Gula Pasir 46.298 ton dengan nilai US$ 19,5 juta, 7) Gula tebu (Raw Sugar) 1,98 juta ton dengan nilai US$ 789 juta dan 8) Garam 1,04 juta ton dengan nilai US$ 46,6 juta (sumber : Data Impor Pangan Indonesia).
Untuk tahun 2016 periode Januari - Juni, Kementerian Pertanian sebagaimana yang dirilis oleh Metro TV dalam acara Economic Challengers, telah menyusun rencana import komoditas pertanian dalam jumlah yang besar meliputi :
- Komoditas pangan dengan total nilai 3.6 Milyar USD mencakup antara lain : beras, gandum, jagung, kacang tanah, kedelai, ubi jalar, ubi kayu, dan kacang tanah.
- Komoditas Hortikulturas dengan total nilai 770.88 Juta USD dengan komoditas antara lain : kentang, tomat, bawang merah, bawang putih, kubis, jahe, wortel, cabe, bayam, polong-polongan, dan buah-buahan
- Komoditas Peternakan dengan total nilai 1.486 Milayar USD yang mencakup komoditas seperti : sapi hidup, daging lembu, susu, daging dan jeroan, ayam hidup, dan daging bebek.
Kebijakan import ini tentunya sangat memprihatikan ditengah peride "bonus demografi" yang diharapkan menarik tenaga kerja produktif dan terdidik untuk bergelut di sektor pertanian dalam rangka membangun ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Profesi Petani yang Semakin Langka
Dalam pandangan Dr. Fasli Djalal (mantan Kepala BKKBN), bonus demografi ini bisa memberikan dampak positif pada satu sisi, serta dampak negatif disisi yang lainnya. Bonus demografi hanya akan bisa dinikmati jika angkatan kerja yang berlimpah tersebut berkualitas, yakni berkualitas dari segi kesehatan, kecukupan gizi, dan pendidikan (sumber : BKKBN.go.id).