Sumber gambar : Kaskus.co.id
Plastik merupakan bahan kemasan yang sangat akrab dengan kehidupan manusia. Sebagian besar komoditi pangan, seperti mie instan, minuman ringan, minuman sachet, sampai pada kemasan yang digunakan oleh para penjual ikan dan penjual buahan-buahan pinggir jalan, semuanya menggunakan kemasan plastik. Penggunaan kemasan berbahan plastik secara massif ini menimbulkan persoalan lingkungan. Sifat dasar plastik yang tidak mudah diurai oleh alam menyisahkan tumpukkan sampah yang semakin banyak, katanya butuh waktu sekitar 350 tahun agar dapat terurai secara sempurna. Ini tentunya akan sangat berdampak pada kelesetarian lingkungan.
Terkait dengan ini, untuk mengurangi volume sampah yang bersumber dari plastik, baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan kebijakan "kantong plastik berbayar", dimana setiap konsumen yang berbelanja dan ingin menggunakan kantong plastik harus mengeluarkan biaya tambahan untuk setiap kantong plastik yang digunakannya. Jadi ada keinginan pemerintah untuk mengubah prilaku masyarakat agar mengurangi penggunaan kemasan plastik dalam kehidupan sehari-hari.
Bertepatan dengan dengan Hari Peduli Sampah Nasional tanggal 21 Pebruari 2016, implementasi kebijakan ini diuji coba secara serantak di 22 kota besar yang ada di Inodensia seperti, Jakarta, Makassar, Bandung, Surabaya, Balikpapan, Semarang, serta kota-kota lainnya. Harga dasar untuk setiap kemasan plastik yang dugunakan telah ditetapkan oleh kementerian terkait (KLHK) minimal Rp. 200 per kantong, meskipun demikian, implementasi penetapan harga ini tidak selalu mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Kementerian LHK, di beberapa daerah harganya disesuaikan dengan kebijakan provinsi ataupun kabupaten/kota masing-masing. Untuk daerah Jakarta, pemerintah provinsi menetapkan harga Rp. 5.000 untuk setiap kantongnya, Balikpapan Rp. 1.500, Makassar Rp. 4.500.
Selama enam bulan ke depan, uji coba ini akan dievaluasi, jika memberikan hasil yang siginifikan, maka kebijakan ini akan ditingkatkan menjadi sebuah regulasi (Peraturan Menteri) yang jangkauannya akan diperluas sampai pada tingkat desa/kelurahan dan pasar tradisional.
Meskipun kebijakan ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk mengurangi dampak sampah plastik, tetap saja menimpulkan pro kontra di tengah masyarakat. Banyak orang yang mepertanyakan aspek efektifitas imlementasi aturan ini, bukankah sampah plastik yang bersumber dari penggunaan kantong plastik oleh rumah tangga relatif sedikit dibanding sampah plastik yang berasal dari kemasan makanan dan minuman? Jika setiap berbelanja, penggunaan kantong plastik sudah tidak ada, apakah kemudian sampah plastik akan secara signifian berkurang? Bukankah ratusan juta rakyat Indonesia setiap harinya mengkonsumsi mie instan, makan snack, minum minuman ringan/sachet, yang kesemuanya itu menggunakan plastik sebagai bahan kemasannya. Kalau demikian halnya, kenapa hanya penggunaan kantong plastik yang harus ditekan penggunaannya. Dari kenyataan seperti ini lah efektifitas aturan ini dipertanyakan.
Pada sisi ini, kebijakan pemerintah untuk mengurangi sampah plastik dengan menerapkan kebijakan "kantong plastik berbayar" ibarat kebijakan memangkas daun-daun dengan maksud untuk mematikan pohon. Penggunaan kantong plastik bukan merupakan persoalan utama dari banyaknya sampah plastik, itu bukan akar persoalan. Sepanjang "kantong plastik" masih diproduksi secara massal, dan industri yang bergerak di bidang produksi makanan, minuman, serta produk lainnya masih mengandalkan kemasan plastik, maka persoalan sampah plastik ini tidak akan bisa diselesaikan secara komprehensif.
Sumber gambar : benzano.com
Lalu siapa yang diuntungkan dari implementasi kebijakan ini? Ini bukan persoalan seberapa besar harga yang harus dikeluarkan oleh konsumen atas setiap penggunaan kantong plastik. Menggeser persoalan massifnya penggunaan kantong plastik menjadi tanggung jawab konsumen jelas merupakan kebijakan yang tidak adil dan tidak berpihak ke konsumen. Kantong plastik yang selama ini merupakan bahagian dari pelayanan dan menjadi tanggung jawab produsen, digeser ke konsumen sebagai sesuatu yang haruas dibayar. Dari sisi ini, maka beban ada di konsumen sedangkan produsen mendapat keuntungan dari implementasi aturan ini.
Jika ingin ekstrim, pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan untuk membatasi produksi kantong plastik, atau mewajibkan produsen yang selama ini menggunakan kemasan berbahan dasar plastik untuk menyediakan kemasan yang lebih ramah lingkungan. Kenapa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mengeluarkan aturan yang mewajibkan pengelola Hipermart, Swalayan, Mall, Supermarket, maupun Minimarket untuk menyediakan kemasan yang tidak berasal dari plastik? Tapi justru pilihan yang tersedia bagi konsumen adalah "bayar/beli" atau menyediakan sendiri.