Lihat ke Halaman Asli

Resi Asmoro

Apaan Sih Ini..? Nggak Jelas Dah Kompasiana Sekarang

Konsep "Give More To Get More"

Diperbarui: 26 Mei 2016   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin sudah banyak yang mendengar kalimat diatas. Kalau mau dapat lebih maka kita harus memberi lebih terlebih dahulu. Sayangnya banyak yang salah kaprah dari pada penjabaran konsep diatas. Kebanyakan hanya sebatas menerjemahkan dari sisi teks semata bukan makana kontekstual didalamnya. Saya jujur saja agak sering juga menemui orang-orang salah kaprah tersebut. Dan sayangnya, kadang saya juga yang merasakan dampaknya.

Semisal begini, ada seorang office boy yang sudah tidak sabaran untuk segera naik level dan meninggalkan job desc-nya sekarang lantaran prestise belaka. Dirinya mulai tidak fokus mengerjakan tugas utamanya untuk menjaga kebersihan kantor atau outlet. Dia hanya fokus pada apa-apa saja yang dianggapnya menjadi point penting dalam penilaian kinerja. Menyapu, mengepel, cuci gelas piring, bersihkan kamar mandi lalu ikut membantu para pegawai operasional mengerjakan tugasnya. Baginya, dia harus memperbanyak ilmu dan belajar bidang lain agar segera dilirik oleh atasan untuk dipromosikan menjadi staff operasional. Dia tidak lagi fokus pada kualitas pekerjaan utamanya, yang penting sudah dilakukan, ya sudah. Parahnya, dia merasa apa yang sudah dilakukannya dalam membantu pekerjaan divisi lain tersebut, patut mendapat apresiaisi dari perusahaan. Padahal bobot penilaian terbesar adalah pada kualitas hasil tugas utamanya.

Berkali-kali atasannya telah memperingatkan untuk menuntaskan tugas utamanya terlebih dahulu sebelum belajar hal lain diluar job desc-nya. Memang di perusahaan saya ini, kami sangat terbuka dengan keinginan belajar dari siapapun untuk mencoba hal apapun demi kemajuan bersama. Bahkan dari beberapa office boy yang pernah kami punya kini sudah ada yang menjadi teknisi, staff operasional hingga ada yang sukses melejit menjadi pimpinan cabang. Seharusnya hal tersebut bisa menginspirasi office boy lain untuk mengikuti jejak yang pernah diambil oleh para pendahulunya itu. Sayangnya, seringkali kita hanya melihat hasil akhir dari kesuksesan orang lain tanpa mau menjalani perjuangan yang pernah mereka lewati.

Dalam dunia bisnis juga tidak kalah banyak contohnya. Para produsen ramai-ramai memberikan semua kelebihan yang mereka punya kepada konsumen. Harga murah, proses cepat, teknologi canggih, mesin terbaru dan sejuta pemanis lainnya yang diobral besar-besar. Ada juga kompetitor yang menawarkan teh hangat kepada pelanggan yang datang sebagai gimmick marketing mereka. Tapi tahu apa yang terjadi? Penjualan mereka dari waktu ke waktu semakin merosot, pengunjung juga semakin menurun drastis bahkan reputasi mereka di mata pelanggan semakin hancur lebur. Padahal sudah semua mereka berikan kepada pelanggan, yang mungkin secara value sudah lebih dari apa yang mereka dapatkan sebagai imbalan. Itu betul. Namun sayangnya, mereka melupakan hal yang utama. Yaitu produk dan layanan yang bagus.

Contoh lain, banyak sekali yang termakan dogma mengenai sedekah. Di beberapa seminar yang mengutamakan sedekah, dengan menjual keajaiban dan sejuta kisah inspirasional pembicaranya (yang cenderung sensasional), kita akan didoktrin untuk mengikhlaskan harta yang kita punya untuk disumbangkan. Kalau mau sukses, mau sehat, mau sembuh, mau lulus, mau kaya bahkan mau agar hutang kita berkurang..ya sedekahkan saja yang kita punya. Nah lho, bayar hutangnya bagaimana kalau gitu..? Tidak jarang juga sang pembicara membawa ayat-ayat yang menjanjikan bahwa Allah akan melipatgandakan dari jumlah yang kita sedekahkan. Bahkan diakhir acara akan diadakan lelang atas nama sedekah. Kita juga "dipaksa" untuk mengeluarkan apa yang kita bawa saat itu kepada panitia. Kalau punya duit, ya duit. Handphone, ya sudah itu juga boleh. Jam tangan juga mereka tidak akan menolak.

Saya seorang muslim. Tapi jujur saja, ini tidak bisa saya telan begitu saja. Bagi saya, tetap ada detail yang terlewat untuk disampaikan oleh para pembicara tersebut. Apakah iya, jika kita menyedekahkan harta terakhir kita maka hutang kita akan (serta merta) lunas? Apakah iya, Tuhan akan memberikan rezekinya kepada orang yang tidak berusaha untuk mencari bagiannya masing-masing? Bukankah berusaha itu lebih wajib ketimbang bersedekah itu sendiri? Bukankah Tuhan sendiri, bahkan sudah mengatur zakat yang sifatnya wajib, dihitung dari hasil usaha yang kita lakukan? Banyak juga yang dengan bangga telah mampu bersedekah dengan jumlah yang masif sementara (mungkin) kewajibannya untuk menafkahi orang tuanya malah terabaikan. Bukankah menghidupi orang tua, anak dan istri itu jauh lebih mulia dan utama ketimbang sedekah itu sendiri? Bukankah do'a dari seorang ibu lebih mustajab dari ribuan orang lain yang mungkin telah kita bantu lewat sedekah kita? Betapa banyaknya awam yang menerima teori ini dengan begitu saja.

Bagi saya sendiri, saya amat sangat meyakini keajaiban dari sedekah tersebut. Saya sudah mengalami sendiri sedikit dari sedemikian besarnya keajaiban sedekah. Tapi pastikan bahwa yang lebih utama terpenuhi dahulu. Ibarat kita hendak menolong orang yang  tenggelam, maka kita sendiri haruslah bisa berenang atau setidaknya punya pelampung. Bahkan didalam prosedur keselamatan penerbangan, kita diajarkan untuk memakaikan masker oksigen kepada diri sendiri sebelum memakaikannya (sekalipun) kepada anak kita sendiri..!! Maka sekali lagi, tolong dipahami arti kata "lebih" itu sendiri. Dalam KBBI, lebih berarti lewat dari yang semestinya. Maka, fokus saja dulu untuk memenuhi yang semestinya itu tadi. 

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline