Lihat ke Halaman Asli

Asmirizani

Ketua Forum Penulis, FLP Kalbar

Ibu, Perempuan dalam Sejarahku

Diperbarui: 30 Desember 2017   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Zani

Raut menggariskan sungai kecil pada pipi. Rambut abu tergerai memanjang jarang. Bibir terkulum tanpa gigi. Gegar gerakannya. Perempuan bak mawar layu. Berguguran, ambruk, dan terkubur sepi.

Raut menawan sejak itu, sejak bumi muda kokoh perkasa. Dia mengeluarkan sebongkah daging dari perut buncitnya. Ruh tersembur pada daging merah berdarah. Mengaung keras meluluhlantakkan hati sang perempuan.

Wajah putih tak berdarah terbasah keringat. Menahan perih, mengucur kebahagiaan. Sengal nafas berhembus memperjuangkan kehidupan sebongkah daging. Sejak itu pula aku disebutnya anak. Anak kecil dari sebongkah daging merah yang tercabut dari rahim.

Perempuan yang menyembunyikan rasa kesakitan karena suatu kebahagiaan. Buah hati yang membesar menyesakkan dada. Dia perempuan tua renta yang tak lagi menghidangkan segalanya untukku. Kini hanya memberikan modal untuk segalanya.

Andai aku dan kalian mengingat masa itu, masa seorang perempuan muda dengan nafas terhela. Menggeluarkan sebongkah daging berdarah, berwujud tampan dan cantik. Nangis darahpun tak lagi heran. Tapi sayang seribu juta sayang. Seribu lelaki tampan dan perempuan cantik tak mengenang hari itu. Hari pecahnya ketuban dan terkeluarnya daging berdarah.

Sejarah itu tak terulang lagi untukku. Hari yang tak dirasakan lagi sanak saudara mengelilingiku dengan senyum dan tawa. Menunjukkan bentuk wajah mereka masing-masing. Urat yang menjalar pada dinding kebahagian dalam cinta mengalir deras menembus pori kecil kebencian.

Musim bergulir mengelinding waktu, melumpuhkan kasihku pada dia. Tetapi dia tidak. Perempuan yang tak mengharap dan tak berharap. Hanya tulus melayani dan mengayomi dengan cinta. Di kepalaku, kata terindah dari bibir ini hanya kata IBU. Pahlawan tegar yang terancam nyawanya. Bertahan dengan senjata seadanya. Melindungi daging berdarah tersayang dari hati.

Perempuan di kepalaku itu selalu ada. Kini, esok, lusa, dan selamanya sampai tercabut ruh yang ditanamkan-Nya. Dia sebagai ratu yang harus mendapat pelayanan super ekstra dengan cinta dalam senyuman.

Ibu yang di hati . . .

Pontianak, 22 Desember 2011

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline