Indonesia adalah negara dengan laboratorium politik paling sempurna untuk pendewasaan demokrasi. Betapa tidak, topik politik merupakan perbincangan dan bahkan materi paling laris di media sosial dan komersial. Tentu ini bukanlah hal yang buruk, karena pada sejatinya proses pematangan demokrasi memang membutuhkan partisipasi publik yang cukup besar.
Akan tetapi, perlu dicermati partisipasi politik yang besar dari aktor-aktor politik membutuhkan landasan psikologis yang kuat dan nalar yang cukup. Kalau tidak, masyarakat akan terjebak pada alur politik praktis yang hanya mengandalkan emosi dan kebenaran personal atau kebenaran yang diinginkan.
Proses demokrasi yang terjebak dalam dialektika retorik yang menitikberatkan pada kebenaran, yang dibentuk bukan pada kebenaran yang sejati (absolute truth), akan membawa pada perbedaan pendapat yang tidak konstruktif. Inilah yang terjadi di Indonesia, perbedaan opini politik yang tajam telah sukses mengelompokkan masyarakat dalam grup-grup politik dengan polarisasi yang sudah begitu dalam.
Di satu sisi, partisipasi politik yang aktif tentu sangat baik untuk pematangan demokrasi akan tetapi partisipasi politik gagal dibentuk menjadi sosial kapital. Sosial kapital yang dimaksud adalah kemampuan masyarakat mengelola perbedaan menjadi hal yang produktif. Perbedaan politik di Indonesia selama ini hanya berpusat pada perbedaan politik yang terbentuk secara politis, baik itu melalui pembentukan narasi, dan strategi politik yang populis.
Sayangnya narasi seperti ini juga turut didukung oleh media-media yang dikonsumsi secara besar-besaran. Tentu narasi politik yang bersifat populis lebih menarik dan murah untuk diterapkan di negara yang biaya demokrasi terlalu mahal seperti Indonesia. Tidak jarang partai politik menyuguhkan kader yang hanya pintar beretorika, tapi gagal pada tataran dialektika analitis dan praktis. Sehingga, perdebatan yang dibentuk juga hanya mirip gunjingan politis.
Masyarakat sebagai konsumen paling besar dari suguhan ini juga turut mengecap informasi yang tidak berkualitas bahkan memercayai hoaks adalah sebagai sebuah kebenaran. Mungkin kita sering bertanya kenapa banyak orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi bisa percaya hoaks.
Dari sini muncul hipotesis, tidak ada korelasi positif antara kecerdasan dan kemampuan mencerna berita hoaks. Dalam kajian akademis ahli memperkenalkan istilah congnitive miser atau dalam penjelasan singkatnya, kemampuan seseorang untuk mengelola dan memproses informasi (data) yang diterimanya dengan mengandalkan insting dan perasaan.
Apalagi kalau informasi tersebut terus-menerus diulang, kemungkinan besar bisa memasuki otak bawah sadar. Sehingga pada tahapan ini, kebohongan pun bisa menjadi kebenaran mutlak. Kalau sudah pada tataran ini, daya pikir reflektif dan analisis sudah tidak lagi digunakan dengan baik.
Kondisi ini diperparah oleh sistem pengujian kecerdasan dan potensi akademik berdasarkan ujian dengan metode soal pilihan ganda. Sistem ujian semacam ini membuat siswa untuk menjadi autopilot intuitif, karena mereka dituntut bukan mencari kebenaran tapi memilah kebenaran berdasarkan instruksi intuisinya.
Orang yang mengandalkan intuisinya akan gagal pada tahapan pemecahan masalah yang membutuhkan proses logika terstruktur. Ini jugalah yang bisa menjadi penjelasan rasional kenapa orang yang terkenal pintar bisa melakukan hal-hal bodoh. Dalam penelitian yang lain, ahli juga melihat tidak adanya hubungan intelegensi dengan cara berpikir yang baik.
Orang yang sering mengalami pengalaman buruk dalam hidupnya memiliki kecenderungan untuk berpikir emosional daripada mengandalkan kemampuan daya analisa logika. Berdasarkan kombinasi dua penelitian tersebut maka bisa disimpulkan bahwa ada dugaan kuat sistem pendidikan yang tidak menitikberatkan pada daya analisis akan menghasilkan lulusan yang hanya mampu menggunakan otaknya untuk menghafal jawaban untuk lulus ujian.