Lihat ke Halaman Asli

The Rise of True Love... ♥8♥

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi di pulau ini, Prue!

Davy terdengar berinisiatif memulai percakapan, setelah keheningan dan perhatian Jasmine yang hanya tertuju pada pria yang tengah sibuk membenahi rajutan jala. Bukan pada dirinya yang justru duduk tepat di hadapannya.

… Jatah cutiku terbatas. Karena aku hanya seorang karyawan biasa. Bukan tycoon (baca: taikun), taipan, atau tai kambing, yang bisa memiliki sebuah pulau, lalu menghabiskan waktu mengukur kedalaman laut sekaligus menghitung sensus penduduknya… Atau mengendalikan emporium bisnisnya hanya dengan sebuah laptop…, ”Davy menambahkan lagi dengan lirikan tajam dan suara yang kentara sekali diperkeras volumenya.

Radar di telingaku pun seketika berbunyi ‘nging’. Ada seseorang yang nampaknya tengah dengan sengaja memercik api dengan sindiran tajam yang menyentuh sensor sensitif di cuping telingaku hingga menegak seketika.

Apa…Tycoon ? Taipan ? Tai kamb… ? Tentu saja aku tahu subyek yang dimaksud oleh Davy. Tapi, kata yang terakhir itu jelas salah sasaran. Meski mendongkol, tapi aku diam saja.

Davy salah, kalau dia berharap provokasinya itu bisa menyulut sesuatu di hatiku. Sebutlah aku temperamental, tapi menanggapi kecemburuan seorang pria, sama saja mencari masalah yang tiada guna ujung hingga pangkalnya.

“Prue, please yaa jangan katakan, kalau kau sudah kerasan di pulau ini. Lalu memilih bersikap apatis dengan kondisi amnesia-mu itu. Tak peduli dengan masa lalu yang telah membentukmu hingga hari ini, dan orang-orang yang telah lama merindukanmu…, “Davy yang lebih suka memanggil Jasmine dengan nama kecilnya itu, terdengar membujuk lagi. Persistensinya terdengar sungguh mengharukan.

Jasmine menelan ludahnya sendiri yang terasa tawar. Tak tahu harus bicara apa, karena Davy rupanya seorang mind-reader yang akurat dalam menebak jalan pikirannya. Apa yang barusan Davy katakan itulah sesungguhnya yang hendak dia sampaikan. Lalu, bagaimana ini?

“Katakanlah Prue! Aku siap mendengarmu, “Desak Davy pantang menyerah. Meski hatinya harap-harap cemas juga dengan keputusan yang akan didengarnya, namun doanya tetap pada jawaban yang amat sangat diharapkannya.

“Emh… A-aku-u… Bagaimana yaa?, “Jasmine menggantung kalimatnya. Diliriknya Aditya yang kini tengah memanggul jala, lalu dengan tergesa mengikuti kepergian Daeng Udin yang membopong jala di ujung lainnya.

Yah, pergi dah tuh orang. Batin Jasmine dengan kecewa. Dukungan Aditya yang diharapkannya, pupus sudah. Pria itu bahkan entah dengar atau tidak percakapan dirinya dengan Davy. Harusnya sih dengar, karena kami berdua duduk tak jauh dari tempatnya membantu Daeng Udin membenahi jala. Tapi melihat ketidak-peduliannya, Jasmine kembali menumpuk kekecewaan di hatinya.

“Masih ada sehari lagi, Prue. Sebelum lusa aku kembali ke Jakarta…, Davy akhirnya bangkit dari duduknya.

Mungkin dirasanya percuma saja memaksa gadis ini untuk segera ambil keputusan. Sedang disadarinya, sejak tadi sepasang mata indah milik Jasmine itu tak lepas dari Aditya yang bayangannya pun kini entah kemana…

***

Pergilah… , “Aku menukas pendek, saat Jasmine mencurahkan kegundahan hatinya tentang tawaran Davy pulang ke Jakarta.

“… Kembalilah kepada orang-orang yang telah lama menanti kepulanganmu. Buat apa pula berlama-lama di sini. Tak ada sesuatu yang bisa kau lakukan di sini. Tak seorangpun juga yang kau miliki di pulau ini…

Aku bukannya tidak menyadari maksud dari cerita Jasmine dan alasan keberatannya meninggalkan pulau ini serta kegamangannya menolak Davy yang sudah demikian sabar menunggu keputusannya.

Dan kusadari betul, kekejaman yang tidak tedeng aling-aling pada kalimatku. Tapi itu belum seberapa kejam, bila dibanding dengan hasratku yang menginginkannya untuk tetap amnesia, dan tak pernah dapat mengingat kembali masa lalunya untuk selama-lamanya.

Semoga kelak Jasmine mengerti, bahwa inilah keadilan yang dapat kuberikan kepadanya.

Bergegas kutinggalkan Jasmine, sebelum shock yang jelas tergambar di wajahnya itu mempengaruhi kebulatan tekadku. Ketergesaan yang membuatku tak sengaja menginjak susunan enam huruf yang membentuk namaku… a-d-i-t-y-a… yang ditulis Jasmine dengan ranting di atas pasir lembap. Ah, tapi sudahlah……

Jasmine menekan dadanya kuat-kuat. Kalimat Aditya dirasakannya bagai segenggam garam yang disebarkan di atas sebuah luka. Perih yang tak terkira.

Air matanya tak terbendung lagi, meski tangisnya masih rapat tersembunyi.

Tunggu, ini belum kiamat!. Jasmine berseru dalam hatinya. Aku hanya perlu meyakinkannya sekali lagi bahwa tekadku sungguh hanya satu. Jasmine cepat menyeka airmatanya.

Tadi Daeng lihat pak Jun pergi dengan membawa perlengkapan selam. Mungkin sekarang sudah jauh di tengah laut bersama Daeng Udin, Nona…, “Kata Daeng Siti yang lantas menyesali dirinya mengapa harus sejujur itu. Kekhawatirannya pun terjawab…

Aku mau menyusulnya…, tolonglah Daeng ! Tolong… ini mungkin kesempatan terakhir dalam hidupku, Jasmine sampai harus bersimpuh dan menyatukan dua telapak tangannya, memohon dengan tatapan menghiba.

Aduh, bagaimana ini, non Jasmine ?

Tak enak hati dimintai tolong dengan posisi menyembah seperti itu, membuat Daeng Siti tak punya pilihan lain selain bergegas mempersiapkan perahu kecil yang biasa dipakai suaminya untuk keperluan sendiri.

Meski bukan yacht seperti yang dimiliki Aditya, namun perahu bermotor milik Daeng Udin, dengan daya dorong yang lumayan besar pada mesin tempelnya itu, dapat melesat cepat, hingga tak butuh waktu lama bagi Jasmine untuk tiba di lokasi yang dicarinya.

***1 step to the edge of the world***

Gambar dari sini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline