Lihat ke Halaman Asli

Peran Pemerintah dalam Munculnya Pemikiran Childfree Masyarakat

Diperbarui: 8 Desember 2024   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagaikan sebuah tren, fenomena childfree mulai berkembang di masyarakat Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara pro-natalis dengan fertility rate 2,15 yang salah satunya disebabkan oleh banyaknya masyarakat meyakini bahwa anak memiliki peran yang penting dalam kehidupan pernikahan. Diantara banyaknya negara yang memiliki tingkat fertilitas rendah, seperti Jepang dengan tingkat fertilitas hanya 1,22, Indonesia masih diberikan "kesempatan" dalam bentuk bonus demografi. Namun, nyatanya fenomena ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Dengan demikian bonus demografi dipandang hanya sebagai bencana "menggilanya" tingkah manusia di masa depan. Salah satu penyebab kurangnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia adalah sistem pendidikan yang masih buruk, bahkan Indonesia memerlukan waktu 128 tahun untuk mengejar kualitas pendidikan yang setara dengan negara maju. 

Dalam perbaikan kualitas pendidikan, Indonesia berkiblat pada Finlandia yang merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Namun dalam prosesnya, masyarakat perlu dipersiapkan untuk dapat menerima dan memaksimalkan sistem pendidikan yang baru. Memperbaiki sistem pendidikan tidak cukup hanya dengan perubahan kurikulum di setiap periodenya. Memperbaiki sistem pendidikan berarti harus memperhatikan semua orang yang terlibat dalam "rumah" pendidikan itu, siswa, guru, orang tua, bahkan masyarakat secara luas. Perubahan kurikulum tanpa memberikan perhatian kepada semua pihak yang terlibat hanya akan menjadi omong kosong. Perbaikan pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya belum dapat dinikmati dalam lima sampai sepuluh tahun kedepan. Oleh karena itu pergantian kurikulum pendidikan di setiap pergantian periode tanpa dasar yang jelas hanya akan menyebabkan proses perbaikan pendidikan kembali dari nol. 

Siswa dan Guru memiliki peran utama dalam dunia pendidikan, oleh karena itu apabila ingin memperbaiki kualitas pendidikan, dua unsur utama tersebut harus menjadi perhatian utama. Sudah bukan rahasia umum bahwa kesejahteraan guru di Indonesia masih sangat miris, gaji di bawah UMR, jam kerja yang tinggi, serta tanggung jawab kerja yang berat. Motivasi belajar siswa Indonesia masih sangat kurang, sehingga salah satu sarana yang memancing mereka untuk belajar adalah ujian dan ranking. Langsung menerapkan sistem pendidikan seperti di Finlandia yang tidak menerapkan ujian, tidak ada ranking, dan tidak ada tinggal kelas, tanpa mempersiapkan masyarakat, hanya akan menyebabkan motivasi belajar siswa Indonesia semakin menurun. Peraturan tersebut diterapkan di Finlandia karena pemerintah disana telah paham bahwa warganya cukup mandiri untuk mengerti pentingnya belajar, sehingga tanpa ujian dan ranking mereka telah terpacu untuk selalu belajar. Namun, dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang belum cukup mandiri untuk mengerti pentingnya belajar, peraturan tersebut hanya akan membawa dampak negatif yang lebih dan lebih

Demoralisasi merupakan salah satu dampak akibat buruknya kualitas pendidikan di Indonesia. Seberapa sering kita melihat berita mengenai siswa yang melakukan tindak kriminal belakangan ini? Tidak terhitung. Pemerkosaan dan pembunuhan siswa SMP oleh empat orang pelaku dibawah 18 tahun, siswa SMP yang hamil, siswa yang terlibat dalam judi online, dan masih banyak lagi. Dengan banyaknya kasus tersebut, sampai saat ini belum ada aksi nyata dari pemerintah untuk mengatasi hal tersebut. Dekadensi moral yang terus menerus terjadi akan menyebabkan kehidupan di dalam masyarakat menjadi tidak kondusif dan ideal, banyaknya aksi kriminalitas yang mungkin saja mulai dinormalisasi bahkan mengakibatkan munculnya pemimpin bangsa yang tidak bermoral. 

Demoralisasi bahkan juga didukung oleh kelakuan pemerintah, bukan lagi rahasia umum bahwa aksi pembodohan rakyat masih terus dan terus dilanggengkan oleh pemerintah. Nepotisme yang terus menerus, korupsi yang sudah menjadi budaya, pengendalian kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, bahkan perubahan undang-undang semaunya. Aksi demoralisasi bahkan sudah terlihat sejak adanya pemilihan pemimpin, baik presiden ataupun kepemimpinan dibawahnya, adanya serangan fajar dan bantuan untuk masyarakat miskin, janji kepada profesi tertentu, bahkan pengadaan buzzer untuk menggiring publik memilih paslon tertentu. Dalam demokrasi, rakyat merupakan penentu dan pemerintah merupakan eksekutor program untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, dengan terus dilanggengkannya demoralisasi dalam pemerintahan tidak menutup kemungkinan rakyat hanya akan menjadi penonton kebiadaban aksi semena-mena pemerintah.

Kesejahteraan pada akhirnya hanya dirasakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan, baik uang ataupun jabatan. Dengan kondisi semacam ini, beberapa masyarakat mulai berpikir bahwa childfree merupakan shortcut untuk mengurangi angka anak dengam masa depan suram di Indonesia. Childfree pada akhirnya menjadi pilihan beberapa orang saat ini dalam menghadapi ketidak idealan pemerintah dalam menjalankan tugasnya yang berpengaruh pada ketidak idealan masyarakat. Ekonomi yang rentan, pajak yang terus meningkat, kasus dan tingkat kriminalitas yang tinggi menjadi beberapa contoh mengenai kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Di tahun 2024, terdapat 71 ribu wanita lebih memilih untuk childfree berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Dengan lingkungan yang tidak ideal, terutama tingginya kriminalitas yang dapat langsung mempengaruhi anak, menyebabkan masyarakat mulai berpikir bahwa memiliki anak hanya akan menyebabkan anak terbawa arus buruk masyarakat. 

Apabila pemikiran mengenai childfree ini terus dipelihara dalam masyarakat, maka tingkat fertilitas akan menurun. Hal ini akan berdampak negatif bagi suatu negara karena usia produktifnya akan menurun yang menyebabkan krisis sumber daya manusia dan krisis demografi. Di beberapa negara yang telah mengalami dampak negatif childfree tersebut, bahkan membuat banyak program yang menarik rakyatnya untuk mempunyai anak. Salah satunya Jepang yang mempunyai program "Children's Future Strategy" yang menghabiskan biaya sebesar 3,6 triliun yen. Saat ini dampak tersebut belum benar-benar terlihat di Indonesia karena Indonesia masih merasakan bonus demografi. Namun, setiap tahunnya angka fertilitas di Indonesia terus mengalami penurunan, apabila hal ini tidak dibarengi dengan perbaikan yang sistemik maka akan ada semakin banyak rakyat Indonesia yang memilih untuk childfree

Untuk benar-benar mewujudkan Indonesia Emas 2045, melanggengkan childfree bukanlah aksi yang tepat. Oleh karenannya, pemerintah harus mulai bertindak untuk mengantisipasi hal tersebut dengan berkomitmen meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pendidikan, ekonomi ataupun sosial untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang ideal, baik untuk anak sebagai generasi penerus bangsa ataupun orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak. Kualitas dan kuantitas penerus bangsa merupakan hal penting untuk menuju Indonesia Emas 2045, sehingga perbaikan kualitas pendidikan dan pencegahan fertility drop harus mulai menjadi fokus pemerintah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline