Lihat ke Halaman Asli

Asmari Rahman

TERVERIFIKASI

Lahir di Bagansiapi-api 8 Okt 1961

Pemilukada dan Uang Perahu

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Calon yang maju dalam pemilukada harus merogoh sakunya lebih dalam, karena makin tinggi ruang dan wilayah kekuasaan pengurus partai tentu semakin besar pula jumlah yang harus disetorkan”.

Rapat Kerja Nasional PAN yang diselenggarakan baru-baru ini telah melahirkan sebuah keputusan penting, berkait kelindan dengan helat serentak Pemilukada yang akan berlangsung pada tahun ini, keputusan penting itu menyangkut “UANG PERAHU.”  Uang yang dikeruk dari saku Calon kepala Daerah untuk disetor ke Partai pengusung calon.

“Baik DPD kab/kota, DPW provinsi sampai pusat tidak boleh ambil uang satu rupiah pun dari calon kepala daerah di luar kepentingan kampanye. Selama ini disebut 'uang perahu' atau uang pendaftaran. PAN tidak membenarkan ini,” kata ketua instruktur pengkaderan PAN Ahmad Farhan Hamid.

Apa yang dinamakan dengan Uang Perahu ini memang sudah sangat lama menjadi kabar buruk yang merusak tatanan Demokrasi kita. Penentuan nama calon kepala daerah jadi melenceng dari tujuan awalnya mencari figur terbaik menjadi figur yang berduit. Alhasil bil husal, penentuan calon  sangat tergantung pada besar kecilnya setoran mahar alias uang perahu.

Celakanya lagi, adakalanya setoran Uang Perahu ini tidak cukup hanya diberikan kepada pengurus partai ditingkat cabang (DPC) tetapi harus mengalir sampai kepusat. Akibatnya, dapat dipastikan bahwa calon yang maju dalam pemilukada harus merogoh sakunya lebih dalam, karena makin tinggi ruang dan wilayah kekuasaan pengurus partai tentu semakin besar pula jumlah yang harus disetorkan.

Munculnya istilah Uang Perahu ini biasanya terjadi karena partai tidak memiliki tokoh yang layak untuk dicalonkan, atau bisa juga karena perolehan suaranya tidak cukup untuk mengajukan calon sendiri dan harus berkoalisi dengan partai yang lain. Kedua faktor ini menjadi celah bagi pengurus partai untuk menawarkan kepada calon yang tak berperahu, dan biasanya kesepakatan diambil dalam loby-loby yang penuh canda tawa yang ditutup dengan kalimat pendek  “Wani piro ?”

Kalimat pendek “Wani Piro” inilah pangkal balanya, dia menghilangkan nilai obyektif tentang sang calon dan sekaligus melahirkan calon pemimpin yang menggunakan uang untuk membeli perahu. Pada tahapan selanjutnya sang calon akan kembali menggunakan uang untuk membeli suara pemilih, dan seterusnya bila sudah terpilih akan mencari uang untuk mengembalikan modal.

Untuk itulah kiranya, keputusan PAN yang mengharamkan uang perahu ini perlu diapresiasi, perlu diacungkan jempol, karena PAN sudah memulai sebuah langkah awal menuju pemilukada yang bersih dari politik uang.

Kita berharap langkah PAN ini diikuti oleh partai-partai yang lain, tidak menjual perahu kepada figur yang tidak jelas, sehingga rekrutmen calon pemimpin didaerah berlangsung secara fair dan transparan. Calon yang diusung benar-benar calon yang capable dan acceptable, mampu dan diterima oleh seluruh masyarakat didaerahnya.

Yang menjadi pertanyaannya kini adalah, siapkah Kader PAN didaerah untuk melaksanakan keputusan tersebut ?  “Jawabnya tertiup diangin lalu”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline