Pertemuan Pertama Kami bertemu, setelah Mas Aditya Gumay menelepon malam sebelumnya, menanyakan sebuah cerpen yang saya tulis sebelum berangkat ke tanah suci, di penghujung tahun 2007. Sejujurnya saya tidak berharap banyak dari pertemuan yang sebenarnya pun bukan pertemuan pertama. Kami pernah bertemu- dulu sekali di salah satu department store di Depok. Sama sekali bukan pertemuan antara penulis dan sutradara. Saat itu saya satu diantara ibu-ibu lain yang menunggu-nunggu kehadiran Aditya Gumay yang kala itu beken dengan garapan Lenong Bocahnya, dengan tujuan: bisa mendaftarkan anak-anak ke sanggar yang dikelola beliau. Sayangnya, sanggar yang direncanakan akan dibuka cabangnya di mall tsb, tidak jadi diselenggarakan. Tetapi bukan karena itu saya tak berani berharap banyak pada pertemuan kedua kami, nyaris sepuluh tahun setelahnya. Melainkan karena saya pernah beberapa kali mengalami situasi yang sama. Ditelepon seorang sutradara, atau pihak production house yang menyatakan tertarik untuk mengangkat cerita yang pernah saya tulis ke layar kaca atau layar lebar. Tapi seperti juga yang mungkin dialami teman sesama penulis, pertemuan itu berulang… satu, dua, tiga kali, lalu selesai. Ada yang begitu saja menguap, tanpa kabar berita. Uniknya bahkan meski sudah membayar cerita yang saya tulis. Diantara mereka yang pernah bertemu, tidak banyak yang tetap saya hormati sampai sekarang, karena memberikan kabar, sekalipun kerja sama tidak jadi atau tertunda. Tetapi Aditya Gumay yang saya temui ternyata berbeda. Bukan seseorang yang hanya bisa bicara apalagi memberikan janji-janji muluk. Sebagai seorang sineas muda dengan penampilan gaul, dan dalam sepandang mata: tidak terlihat relijius, saya kaget dengan niatannya mengadaptasi cerpen Emak Ingin Naik Haji ke layar lebar. Selain tidak matching dengan penampilannya (hehehe… maaf Mas AditJ), cerpen Emak Ingin Naik Haji buat kebanyakan pekerja film mungkin akan dianggap tidak komersil. Benar film-film islami sedang marak, tetapi sebagian besar bertema cinta dengan para pemain muda yang cantik dan ganteng bertebaran di dalamnya. Sementara Emak Ingin Naik Haji (kemudian dimainkan Aty Kansers sebagai pemeran utama perempuan), menentang mainstream yang ada. Salut saya bertambah, saat mengetahui bahwa Sutradara muda ini berani mengikat saya dalam pertemuan pertama dengan tanda jadi dan secarik kertas perjanjian sederhana, “Untuk jaminan bahwa Mbak Asma nggak akan memberikan cerpen ini kepada pihak lain,” ujarnya dengan senyum. Padahal, kami belum memiliki investor! Perjanjian yang ditepati Beberapa bulan setelah itu, syuting film Emak Ingin Naik Haji dimulai, dan tayang di bioskop tanah air tidak sampai setahun dari produksi. Selama syuting saya melihat sisi Aditya Gumay yang lain, detail, dan ternyata cukup relijius… kami break setiap kali waktu shalat tiba, dan sangat akomodatif. Beliau menepati kondisi yang saya minta sebelum syuting berlangsung: 1. Saya memiliki akses untuk melihat skenario dan perkembangannya 2. Saya bisa memberikan usulan/kritikan/masukan untuk skenario juga selama syuting agar film ini lebih terjaga. Dua poin tersebut saya ajukan, sebagai jaga-jaga, berkaca dari pengalaman beberapa penulis yang karyanya diangkat ke layar lebar. Dari sutradara dan pihak produser, yang menggarap filmnya ada yang tetap setia pada semangat cerita, ada yang tidak setia, dan ada juga yang parah… hingga si penulis merasa malu untuk melihat film yang tiba-tiba menjadi erotis dan membawa citra jauh berbeda dari karya tulisnya. Padahal penulisnya adalah sastrawan senior yang karya-karyanya sangat dihormati. Saya mengusahakan hadir di hari-hari syuting, sebisanya. Dari awalnya merasa sebagai orang luar, kagok, bingung juga… tiba-tiba merasa menjadi bagian dari satu keluarga besar. Saya kira ini adalah kesan bagi banyak pihak yang sempat bekerja sama dengan Aditya Gumay. Beliau berusaha merangkul semua dengan semangat kasih, pengertian dan kehangatan keluarga. Dari pengalaman itu, saya tidak ragu ketika Mas Adit, begitu saya memanggilnya, meminta sebuah cerpen lain yang sederhana tapi dalam. Dialog tersebut terjadi di salah satu lokasi syuting, pada hari-hari terakhir produksi film Emak. Malamnya saya kirimkan lewat email, sebuah cerita berjudul Jendela Rara. Cerita pendek itu ternyata membuat mata Mas Adit, serta beberapa teman yang membacanya, berkaca-kaca. Tetap saja saya surprise saat beliau kemudian benar-benar menggarapnya, tidak lama setelah film Emak tayang di bioskop tanah air. Film Emak Ingin Naik Haji sendiri telah menyentuh siapa saja yang menontonnya, serta memboyong enam piala di Festival Film Bandung. Sementara Aty Kansers mendapatkan anugrah pemeran film utama wanita terbaik dalam Indonesia Movie Awards. Alhamdulillah. Kerjasama Kedua: Rumah Tanpa Jendela “Saya sampai pada usia, untuk tidak mengerjakan sesuatu kecuali sesuatu itu benar-benar menggerakkan hati saya.” Ucapnya tulus dalam satu obrolan suatu hari, sebelum hari-hari syuting film Rumah Tanpa Jendela, yang diadaptasi dari cerita pendek di buku kumpulan cerpen berjudul Emak Ingin Naik Haji, yang saya tulis. Kerja sama berulang kembali. Hari-hari syuting Rumah Tanpa Jendela yang terbilang efektif dan berlangsung cepat, seperti juga pada saat syuting Emak Ingin Naik Haji. Beliau tepat waktu. Juga selalu bisa memandu pemain dengan baik, bahkan jika dia hanya extras yang kehadirannya mungkin tak terlihat penonton. Poin lain yang saya lihat adalah kesabaran. Selama ini saya belum pernah melihatnya marah di lokasi syuting, apalagi membentak pemain/kru. Arogansi yang dalam pikiran naïf saya melekat pada sosok ‘sutradara’ sama sekali tidak menempel pada beliau. Aditya Gumay yang saya kenal, adalah sosok rendah hati yang siap mendengar, menerima masukan atau kritik. Juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Dalam beberapa kesempatan saya juga melihat penghormatannya yang luar biasa kepada sosok ibu (Saya berharap beliau membuat film lain dengan fokus tema ibu, suatu hari nanti). Bukan berarti selama ini kami tidak pernah berselisih. Tentu saja ada, apalagi saya merasa harus bicara jika ada yang membuat hati tidak nyaman. Misal jika kostum pemain meski sopan tapi menurut saya agak terbuka, sementar ini tidak diperlukan dalam cerita. Saya pasti menyampaikannya kepada Mas Adit. Terlepas bagaimana keputusan beliau, tetapi bagi saya ini adalah pertanggungjawaban seorang penulis yang juga merasa, media apa pun, baik cerpen atau film seharusnya memiliki nilai edukasi dan pencerahan sebisa mungkin. Tentu saja hal ini juga tidak saklek. Sebab saya mengerti bahwa pakaian yang digunakan harus sesuai dengan karakter yang diperankan. Itu salah satu contoh tema diskusi kami. Selama ini Mas Adit relatif mau mendengar. Tidak langsung memotong, atau menolak. Juga terhadap diskusi-diskusi yang lain. Ada kalanya diskusi berlangsung alot dan agak keras. Ketika sebagai penulis saya merasa kelebihan dalam format cerpennya tidak terangkat utuh dalam cerita. Saya tidak keberatan dengan penambahan atau pengurangan, asalkan membuat cerita menjadi lebih baik. Ada hal lebih penting menurut saya dalam menerjemahkan arti ‘setia pada cerita’, bukan hanya pada jalan cerita melainkan yang terpenting bersumber dari semangat yang sama dengan cerita. Kadang saya merasa terlalu keras kepada Mas Adit. Adu argumentasi terjadi tidak hanya saat bertemu muka, atau via telepon, melainkan juga melalui sms. Kadang saya merasa tidak enak. Tetapi Mas Adit selalu punya waktu untuk membaca sms-sms yang terkadang sangat panjang itu. Juga meladeni keluhan-keluhan atau protes-protes saya. Kalau pun tidak tercapai kata sepakat, beliau bersedia mempertimbangkan dan tidak membuat keputusan sendiri. Dan beliau memiliki cara yang membuat kami setelah diskusi bisa sama-sama nyaman kembali. Dalam salah satu sms, Mas Adit mengatakan, “Nggak apa mbak Asma… I know your heart.” Kalimat yang sungguh melegakan, setelah semua kebawelan saya:) Dari Film Reliji ke Drama Musikal Anak Lalu apakah persamaan film Emak Ingin Naik Haji dengan Rumah Tanpa Jendela? Sebagai film, keduanya berbeda. Emak Ingin Naik Haji lebih terkesan sebagai film reliji, sementara Rumah Tanpa Jendela merupakan drama musikal anak. Tetapi keduanya bernuansa sosial yang memiliki pesan namun disampaikan dengan halus dan tidak verbal. Dua-duanya masih bicara tentang kemiskinan, tetapi bukan kemiskinan yang mengumbar tangis air mata pemainnya. Dengan caranya sendiri Aditya Gumay mengetuk hati kita semua. Persamaan yang lain, keduanya digarap dengan sepenuh jiwa. Juga tetap dengan misi sosial. Bahkan untuk film ini sebelum tayang di bioskop tanah air, akan diputar lebih dulu di sekolah-sekolah, “Gratis Mbak Asma, adik-adik yang menonton cukup membawa buku cerita bekas untuk disumbangkan ke RumahBaca AsmaNadia.” Keren, pikir saya. Mengajak anak-anak menonton sekaligus berempati. Tidak hanya itu, Pihak produser (termasuk investor) sepakat memberikan 100 persen keuntungan dari tiket 21 nanti untuk kepentingan sosial kemanusiaan, bagi anak-anak Indonesia yang membutuhkan. Subhanallah. Saya bersyukur untuk proyek ini Mas Adit bertemu dengan Mbak Intan Ophelia, salah satu produser yang membiayai film, dan memiliki idealisme dan kejernihan hati yang sama. Harapan saya, duet keduanya tidak berhenti di sini dan bisa memberikan kontribusi lebih banyak terhadap dunia perfilman tanah air. Lalu apa yang bisa saya katakan tentang film Rumah Tanpa Jendela? Menyenangkan bisa melihat satu lagi film anak-anak, film keluarga dengan pemain-pemain cilik yang luar biasa berbakat. Apalagi mengetahui bahwa selama proses syuting, dipenuhi keriangan. Tidak ada anak yang stress, atau ngambek. Tidak ada Sutradara yang membuat film anak-anak tetapi membentak-bentak dan melakukan pendekatan tidak ramah terhadap para pemain cilik. Jalan cerita yang indah. Penggarapan yang sabar dan sepenuh hati. Sutradara yang mencintai dan telah mendidik banyak anak sanggarnya. Sebagai film musikal? Lagu-lagu yang bertebaran indah, riang, dan membawa hati lebih jernih. Mengajak kita berbagi. Akhirnya… Salah satu perjalanan hidup yang saya syukuri… dan saya anggap anugerah yang Allah berikan, adalah bagaimana Dia mempertemukan saya dengan seorang Aditya Gumay. Setelah merasa miris dengan film-film Indonesia yang didominasi horor dan komedi seks. Jengah dengan judul-judul di poster film lokal kita. Berkecil hati karena masih sedikitnya sutradara dan produser yang sungguh-sungguh menganggap film sebagai produk budaya yang seharusnya membanggakan, sebab mencerminkan kemajuan Indonesia pada saat itu, saya lega Aditya Gumay hadir setelah sekitar lima tahun absen dari belantara perfilman Indonesia. Seorang sutradara muda yang memiliki tujuan jelas bagi karya dan hidupnya. Seseorang yang berkarya tidak untuk keuntungan materi semata, tetapi memiliki tujuan lain yang jauh lebih besar. Seperti kalimat beliau dalam sebuah sms yang dikirimkan, mengomentari keharuan penonton film Emak Ingin Naik Haji, “Alhamdulillah, Mbak. Tercapailah tujuan kita menyentuh banyak orang untuk menyadari dirinya, dan semakin menguatkan niat para muslimin/at untuk ke tanah suci. Syiar yang kita lakukan lebih besar 'untung' pahalanya daripada materi yang bisa dicari kapan pun. Ini kita niatkan betul jadi amal jariyah yang insya allah jadi penyelamat kita di hadapan ilahi Robbi nanti... amin.” Dan dalam film Ummi Aminah, yang tayang di tanah air sejak 5 Januari lalu (novelnya UMMI, diterbitkan Harian Republika), denyut perjuangan yang sama, bisa kita temukan. Sebuah karya sederhana tetapi membawa banyak realitas, dan tentu saja bisa dinikmati bersama keluarga untuk mempererat cinta dan kebersamaan. “Saya ingin misi sosial dalam membuat film, menjadi tren, mbak.,.” tuturnya dalam kesempatan yang lain, "Saya nggak ingin membuang umur dengan karya-karya yang sia-sia." Insya allah Mas Adit… insya allah. (Semoga Allah menjagamu, Mas. Semoga pertemanan dan kerjasama yang baru seumur jagung di antara kita nantinya berumur panjang, dan membawa kita ke surga-Nya… amin). *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H