Lihat ke Halaman Asli

Abdus Saleh Radai

Dakwah Nusantara

Puasa Ramadlan Secara Lahir dan Batin

Diperbarui: 6 April 2022   14:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KH. Agus Salim HS, Rois Idaroh Syu'biyah Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu'tabaroh An Nahdliyah (JATMAN)

Menurut Rois Idaroh Syu’biyah Jam'iyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyah (JATMAN) KH. Agus Salim HS, Ibadah puasa merupakan amaliah ibadah yang sudah lama ada, sebelum perintah syariat puasa ramadlan pada masa kerasulan Muhammad SAW. Dalam arkanul Islam, ibadah puasa menempati urutan ketiga setelah syahadat dan mendirikan shalat.

Sebelum masa Rasulallah SAW, nabi Musa ‘alaihissalam melalukan puasa selama 40 hari meski tidak ada ketentuan dalam kitab Zabur dan Injil. Sampai saat ini kaum yahudi tetap mengerjakan puasa meskipun tidak ada ketentuan khusus dalam kitab mereka, seperti puasa selama seminggu untuk mengenang kehancuran Jerusalem, puasa hari kesepuluh pada bulan tujuh menurut perhitungan mereka dan berpuasa sampai malam.

Menurut Ibn Kasir, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan berjimak disertai niat yang ikhlas karena Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan, dan kecemerlangan diri dari percampuran dengan keburukan dan akhlak tercela.

Ibadah puasa mempunyai dua tantangan yang sangat berat, sehingga menyebakan orang yang berpuasa hanya akan terjerumus dan terjebak pada haus dan lapar saja.

“Jika seorang yang berpuasa tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, yaitu nafsu faraj (birahi) dan nafsu lapar. Maka puasanya akan sia-sia dan kosong,” Kiai Agus menjelaskan.

Dengan mengutip Kitab Ihya Ulumiddin Karya Imam Al Ghazali, Kiai Agus, menjelaskan pengtingnya puasa lahir dan batin (dzahiran wa batinan). Puasa itu memiliki dua dimensi yaitu, demenis lahir dan batin.

Puasa lahir adalah puasa dengan standar ilmu fikih (ilmu syariat) bagi orang awam, sedangkan puasa batin adalah puasa dengan standar ilmu hakikat (ilmu mengolah hati atau dikenal dengan ilmu tasawuf) bagi orang khusus. Dalam Kitab Ihya Ulumiddin, bab keterangan tentang puasa, Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan ada syarat untuk menjalani puasa Ramadlan secara lahir, dan syarat untuk menjalani puasa Ramadlan secara batin.

Jadi untuk terpenuhinya syarat puasa lahir adalah dengan menjalankan aspek syariat tentang puasa, seperti berniat, tidak makan dan minum, khusus bagi anak remaja (belum nikah) hindari onani dan masturbasi, tidak berhubungan suami-istri di siang hari dan lain sebagainya.

Sementara untuk mendapatkan derajat puasa secara batin harus niat puasanya karena Allah, mengendalikan nafsu-nafsu yang ada dalam organ tubuh, munajat dan dzikrullah, dan terus memelihari takwa kepada Allah SWT. (ASR)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline