Lihat ke Halaman Asli

Tuhanmu, Tuhanku, Tuhan Kita dalam Dimensi Sosial

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat realitas sosial, sampai saat ini kepercayaan terhadap agama, kepada Tuhan masih dipercaya menjadi suatu pilihan jamak sehingga apa yang dipercayai dalam dirinya juga musti diyakini oleh orang lain. Keimanan sebagai sesuatu yang pribadi dipaksakan menjadi pilihan komunal, yang selanjutnya berbondong-bondong mengklaim sebagai pembawa pesan Tuhan. Lifestyle penuhanan secara berjamaah ini pun sampai sekarang telah menimbulkan korban yang tidak sedikit. Obsesi menyatukan nama Tuhan yang tersebar di pelbagai agama ini, korbannya tidak saja dari kalangan luar, namun juga banyak yang dari keluarganya sendiri. Tidak hanya mengorbankan nama akan tetapi sampai berujung hilangnya materi dan korban jiwa.

Realitas yang demikian dikarenakan adanya paradigma yang kurang tepat dalam menyelami agamanya, kepercayaannya. Jika menilai paradigma yang keliru tersebut telah sesuai dengan agama yang dipercayai, maka tak perlu heran jika banyak kalangan yang berfikir akan mengkritisinya hingga mencercanya.

Kenyataan yang sering saya temui baik melalui media ataupun melihat dengan mata sendiri di antaranya ada beberapa orang yang berpindah kepercayaan lantas menghina keyakinan dirinya yang sebelumnya dan beberapa orang yang memusuhi seseorang yang menentukan pilihannya untuk pindah agama. Keduanya, apakah yang berpindah kepercayaan ataupun seseorang yang melihat teman seimannya keluar dari apa yang diyakininya, apabila keduanya bersikap seakan-akan iman yang dimilikinya juga musti diikuti orang yang berbeda keyakinan, maka pada dasarnya keduanya sama-sama telah menuhankan egonya, bukan sebenar-benarnya bertuhan.

Namun demikian, mendiskusikan sampai memperdebatkan ketuhanan bukanlah sesuatu yang salah selama  itu berdasar dengan pikirannya, bukan emosinya. Hanya saja, untuk melakukannya, saat ini mungkin masih menjadi sesuatu yang tabu. Fenomena ini, sebagaimana tersebut sebelumnya, karena 'kebiasaan' bertuhan lebih mendominasi dalam dirinya dari bertuhan itu sendiri.

Ini saya rasakan dengan beberapa kali menemui artikel kalangan yang mengaku sebagai mualaf (orang yang pindah keyakinan dari agama lain ke Islam) yang isinya menghujat agama yang sebelumnya diyakininya. Pada kesempatan yang lainnya lagi, ada seseorang yang benar-benar mualaf lantas mendapat kecaman dari teman seimannya.

Tanpa kebetulan, semingguan kemarin, saya mengalami hal demikian. Saya ditemui oleh salah seorang mualaf yang belum genap sebulan masuk Islam. Ia diusir oleh keluarganya karena kepercayaannya. Keluarganya, menurut pengakuannya, tak mau menerimanya lagi. Ia pun mengalami kebingungan, karena ibu yang menurutnya paling dicintainya justru orang pertama yang paling membenci kepindahan keyakinannya.

Dua hari yang lalu, dan tadi malam, orang tersebut menemui saya lagi dengan ditemani salah seorang temannya, setelah sebelumnya ia mendesak saya agar mau memberikan penjelasan seputar Islam. Pengakuannya, ia merasa wawasan keislaman yang saya miliki cukup diminatinya, sehingga ia berharap bisa mendapat pemahaman lebih dalam lagi dari saya.

Setelah beberapa kali saya didesak, saya menjadi luluh meskipun saya kurang begitu mengerti dengan maksud dirinya yang menilai saya demikian. Saya mencoba mengawalinya dengan memintanya bercerita seputar kepindahan kepercayaannya, lalu dilanjutkan dengan ngobrol ringan.

Mengenai proses ia menjadi mualaf, di sini tidak saya tulis, karena bukan itu tujuan saya mempublis unek-unek ini. Saya juga tidak panjang lebar, karena saya hanya akan mengajak berdiskusi melalui sudut pandang problematika ketuhanan dalam dimensi sosial melalui kemualafan dirinya.

Melalui apa yang diceritakan, ia mengaku kemualafan dirinya berujung teror dari keluarga dan orang-orang terdekatnya, sehingga ia merasa tak tahu apa yang akan diperbuat menghadapi semuanya. Apakah ia musti benar-benar meninggalkan mereka demi menjaga apa yang diyakininya setelah melihat sikap mereka kepadanya.

Saya sebagai seorang gembel, mendengar penuturannya sama sekali tidak kaget. Sama sekali tidak merasa bingung. Bukan karena saya merasa memiliki jawabannya, namun karena kebebasan sebagai gembel sehingga saya tak begitu khawatir dengan kegelisahannya. Dengan sedikit melontarkan senyum, kebingungan yang menyelimuti raut wajahnya tampak mulai sirna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline