Lihat ke Halaman Asli

Potret Kisah Prita: Pasal 27 ayat 3 UUITE dalam Perpekstif Islam

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat telah melebur di kehidupan manusia, sampai-sampai seolah sudah cukup sulit untuk dilepaskannya. Sebagaimana teknologi internet yang kini telah menjadi suatu yang niscaya sebagai sarana informasi sekaligus transaksi. Internet yang sebelumnya dinilai sebagai dunia "kedua" atau dunia maya, sekarang ini bisa dibilang sudah menjadi bagian dari dunia nyata. Internet bukan saja mampu memberikan informasi-informasi global secara cepat, namun juga bisa mencairkan uang, meningkatkan prestise seseorang, sampai alat menggulingkan pemerintahan sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Mesir. Karena alasan ini pula kemudian pemerintah merasa perlu mengeluarkan kebijakan untuk membuat Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).

UUITE ini dalam penyusunannya tentunya tidaklah terlepas dari dua naskah akademis oleh Tim Unpad yang ditunjuk oleh Depkominfo, yang kemudian bekerjasama bersama para pakar ITB yang menghasilkan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI) dan Tim UI yang ditunjuk Deperindag yang menghasilkan naskah akademis RUU Transaksi Elektronik. Kedua RUU ini lalu diolah atau disesuaikan kembali oleh Tim dari pemerintah yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH yang hasilnya selanjutnya disahkan DPR, yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).

Melihat maksud baik sebelumnya tentang RUU UUITE untuk mengakomodir perlindungan hukum pengguna internet-dari ancaman sampai kepastian hukum penggunanya- serta proses penyusunannya yang tidak sederhana, namun apakah kemudian memang sudah benar untuk lekas disahkan? Pertanyaan ini tidaklah boleh dijawab sederhana, karena realitas implementasinya sangat paradoks, serta melihat sudah menimbulkan 'korban' yang tidak sedikit dan tragisnya sebelum RUU ITE disahkan pun sudah ada yang dijerat kasus tentang hal ini. Korban demi korban UU ITE berjatuhan, sebut saja misalnya Herman Saksono, Narliswani (Iwan) Piliang, Erick Jazier Adriansjah, Nur Arafah, Bambang Kisminarso, Yudi Latif, dan Prita Mulyasari. Mereka disebut 'korban', karena ukuran hukum yang dikenakannya masih rancu, yang masih terdapat pintu interpretasi yang sangat luas.

Namun dari kasus-kasus yang ada, khusus kasus Prita mungkin yang paling ramai diberitakan. Sampai banyak kalangan memberikan perhatian. Mayoritas dari mereka mengatakan apa yang dihadapi Prita Mulyasari ini tidaklah adil. Email curhatan pribadinya yang tersebar ke rekan-rekannya-mengenai kondisinya saat di RS. Omni yang menurutnya tidak menunaikan janjinya sebagaimana diiklan dan sekaligus dinilai tak sesuai dengan visi-misinya-membuatnya dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE. RS Omni yang mustinya memberikan hak Prita dengan penjelasan secara fair, secara jujur, secara terbuka, secara proporsional, justru ngotot berupaya mempidanakan Prita.

Fenomena media massa yang meliput secara masif tentang kasus Prita hingga membuat gempar negeri ini, telah memberikan kesadaran pemahaman yang meluas di kalangan masyarakat tentang UU ITE. Dampak kesadaran ini memuncratkan air mata rakyat Indonesia dalam melihat keadaan Prita Mulyasari, yang selanjutnya melahirkan demonstrasi besar-besaran dari pelbagai elemen, baik di ranah nyata masyarakat ataupun di dunia maya. Pengumpulan koin untuk Prita, merupakan wujud nyata air mata rakyat tak lagi bisa dibendung dan mulai membeku dalam melihat kisah Prita Mulyasari yang menurutnya cukup memilukan, mengerikan. Meskipun demikian, ternyata belum mampu membuat Prita bisa istirahat. Kasasi, dikabulkan oleh MA.

Melalui kasus Prita ini, sehingga banyak sekali pihak-pihak yang menilai jika UU ITE ini, khususnya pasal 27 ayat 3, merupakan alat tirani yang akan digunakan pemerintah SBY untuk memasung suara pihak-pihak yang berusaha mengangkat kejahatan-kejahatan yang dilakukan olehnya ataupun oknum-oknum yang dekat dengan kekuasaan. Suatu ironi, Prita menjadi pesakitan kebebasan berpendapat di Negara yang mengusung demokrasi. Melalui kasus-kasus tersebut di atas, menunjukkan apabila pemerintah telah melanggar Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa, "Setiaporang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya."

Sampai di sini, dengan melihat realitas bahwasanya mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, semoga tidak ada salahnya apabila penulis mencoba melirik fenomena yang demikian melalui kerlingan Islam.

Meraba UU ITE dengan Sentuhan Ringan Islam

Membaca maksud dari dibuatnya UU ITE ini pada dasarnya baik. Hanya saja apabila sesuatu yang baik tidak diikuti dengan mekanisme yang baik, tidak terukur secara matang, bisa saja membuahkan hasil yang tidak baik. Ini tujuannya agar tidak menghasilkan sesuatu yang mubadzir (sia-sia). Hal ini juga diterangkan dalam Islam, apabila mengambil suatu mekanisme haruslah terukur, terstruktur, jelas. Sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas, dan tuntas).''

Kemubadziran saja tidak diperbolehkan, terlebih perihal UU ITE ini terkait dengan hak orang lain, yang apabila salah mengambil keputusan akan menimbulkan korban. Melihat bahayanya, mustinya dalam menerapkan aturan tidaklah boleh asal-asalan. Membuat suatu aturan hukum, tidak diperbolehkan apabila masih memuat interpretasi luas yang dapat menimbulkan polemik panjang, karena mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Maka, membuat sebuah hukum harus jelas, baik dalam ranah logika sekaligus kadar-ukurannya, sehingga mudah pula dalam menjalankan aturannya secara tegas. Hadits riwayat Ibnul Mubarok, disebutkan bahwasanya Rasullullah SAW bersabda, "Jika engkau ingin mengerjakan pekerjaan maka pikirkanlah akibatnya, maka jika perbuatan tersebut baik, ambilah dan jika perbuatan itu jelek, maka tinggalkanlah."

Terkait dengan Undang-Undang yang sarat interpretative ini, selain berbahaya karena kemungkinan jatuhnya korban sangat besar, juga membahayakan seorang hakim tergelincir dalam sebuah keputusan yang salah. Padahal, dengan Undang-Undang yang terukur dan jelas saja, hakim masih bisa terperosok pada sebuah kesalahan terlebih dengan kondisi Undang-Undang yang sarat debatable. Islam cukup hati-hati dalam hal ini, sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwasanya sayidah Aisyah mengatakan apabila Rasulullah Saw pernah berkata,"Sesungguhnya seorang hakim salah dalam memberi pengampunan lebih baik, dari pada salah dalam menentukan hukuman."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline