Lihat ke Halaman Asli

Istilah Kafir dalam Fenomena Terorisme di Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Wahyu NH. Aly



Tindakan terorisme di masa SBY belakangan ini menjamur pesat. Kebanyakan pelakunya beragama Islam, sehingga acapkali para peneror dikait-kaitkan dengan Islam sebagai ajarannya, dan hal ini lebih dikuatkan dengan motif mereka yang mengusung “jihad”. Meskipun aksi terorisme yang ada melahirkan pelbagai opini-opini spekulatif, semisal kemungkinan proyek aparat, produk pemerintah untuk meredam isu-isu sensitif, serta yang lainnya, namun tanpa terlepas sejauh mana kebenaran dari masing-masing taksiran, pengusungan “jihad” sudah menjadi sorotan bombastis media massa. Sehingga, jika pemberitaan yang terkesan memaksa dari media ini benar, maka menjadi dilematis sekaligus ironi.

Pengusungan “jihad” oleh pelaku teror beragama Islam, dengan menganggap sebagai tugas yang diberikan agama, menjadikan Islam sebagai agama pilihan mayoritas negara ini tampak dilema. Umat Islam sebagai mayoritas yang sebagian besar bersikap toleran dan lembut dengan kalangan yang beragama lain dengan alasan melaksanakan ajaran agama, kemudian dibenturkan dengan kalangan intoleran ekstrimis yang lebih dikenal sebagai teroris yang juga menggunakan dalih sama membawa perintah agama. Pemahaman paradoks yang mustinya tidak ada, dalam realitasnya terlihat jelas keberadaannya. Dilema yang lain, umat Islam yang mayoritas seolah tidak terlihat karena tertutup bayang-bayang hitam segelintir orang Islam. Umat Islam mayoritas, yang di dalamnya termasuk pendiri negeri ini, pun seolah harus ikut memikul kekeliruan yang dilakukan oleh muslim minoritas ekstrimis. Indonesia sebagai bangsa yang di dalamnya didominasi umat Islam, pun seolah ikut buram, yang lagi-lagi karena ulah sebagian kecil orang Islam yang berbuat teror.

Fenomena teror dari segelintir umat Islam yang mengaku berpijak pada agamanya, Islam, tentunya benar-benar ironi. Islam yang mempunyai makna keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, kemudian pengertian yang indah tersebut harus rela tereliminir oleh praduga-praduga salah terhadap Islam yang hanya dikarenakan ulah sebagian kecil umat Islam ekstrim yang mengaku membawa bendera agama. Sepertinya kurang fair, kurang adil, kurang bijaksana, namun kenyataannya wacana yang demikian bergulir cukup deras. Sehingga anggapan miring yang dijejalkan oleh media massa ini, pun mau tidak mau musti diterima oleh seluruh umat Islam sebagai fakta berita untuk lekas ditanggapi secara proporsional.

Tanpa terlepas sejauhmana kebenaran media massa akan pemberitaan heboh aksi para teroris dengan membawa “jihad” Islam ini, tentunya perlu dipelajari akan sisi kemungkinan kebenarannya dari sisi yang lain. Memasukinya, lebih mudah dengan melihat sumber alasan kemungkinan tindakan teror yang dilakukan oleh teroris yang mengaku dirinya sebagai “mujahid” atau pelaku “jihad. “Jihad” secara umum melawan orang kafir yang memusuhi Islam. Dari sini, maka bisa menggunakan rumus: “kafir yang memusuhi Islam – pelaku jihad (mujahid) = tindakan (jihad)”. Kemudian yang menjadi pertanyaan, sudah benarkah pelaku teror itu dengan aksinya mengaku sedang ber”jihad”...?

Menjawab pertanyaan di atas, sebelumnya perlu dijelaskan pengertian tentang istilah “kafir”. “Kafir” secara bahasa memiliki makna berbeda, tidak sama, menolak, tidak menerima, dan pengertian yang sinonim lainnya. Sedangkan menurut istilah, “kafir” mempunyai pengertian orang yang berbeda keyakinan tentang Tuhan atau agama Islam.

Menilik “kafir” bermakna berbeda, sehingga di Islam pengertian “kafir” itu sendiri diklasifikasikan menjadi dua: kafir harbi dan kafir dzimmi. Kafir harbi adalah orang yang tidak percaya (berbeda keyakinan) atas Allah Swt sebagai Tuhan (Islam) sekaligus memusuhi Islam, dan sedangkan kafir dzimmi adalah orang yang tidak percaya pada Islam akan tetapi toleran dengan umat Islam. Adanya pengklasifikasian ini, sehingga dalam sikapnya pun Islam membedakan atas kafir harbi dan kafir dzimmi. Islam membolehkan melawan kafir harbi dengan sebatas melindungi diri (tidak melampui batas), dan Islam melarang keras sikap tidak berbuat adil apalagi sampai menyakiti kafir dzimmi. Sikap boleh melindungi diri (melawan) terhadap perbuatan keji kafir harbi, pada dasarnya bukan karena pilihan ke”kafiran”nya, akan tetapi disebabkan oleh sikap jahat (harbi)nya. Juga, tindakan jahat (harbi) yang dilakukan oleh orang kafir, itu hukumnya sama seperti halnya orang Islam yang bertindak jahat. Karena itu pula, di Islam dikenalkan dua ibadah; mahdhoh dan ghoiru mahdhoh, yang dari keduanya memiliki perbedaan dalam ‘mekanisme’ untuk pelaksanaan ibadah dari sumber hukumnya.

Pemahaman ini, karena Islam melukiskan bahwasanya seluruh manusia adalah keluarga dari ayah dan bundanya, Nabi Adam as. dan Siti Hawa. Analoginya, Bumi sebagai tempat tinggal, manusia sebagai anak-anaknya dengan segenap keberagaman yang melingkupinya, sedangkan Adam sebagai ayah dan Siti hawa sebagai Ibunya.

Sebagai tambahan, agar lebih mudah memahami tentang "kafir," di sini saya akan membuat sebuah analogi melalui cerita: A dan B merupakan dua saudara yang sekarang ini tinggal di Jogjakarta, dan keduanya akan pergi ke Jakarta. Akan tetapi, A dan B memiliki panduan peta yang berbeda. Isi peta yang dimiliki keduanya, pun menunjukan arah yang berbeda tentang Jakarta. Arah Jakarta pada peta yang dimiliki A, itu ke arah barat, dan arah timur menuju jurang yang curam. Sedangkan di petan yang menjadi pedoman si B, justru berisi sebaliknya. Kemudian, keduanya pun saling mendiskusikan, akan tetapi hasilnya nihil. Keduanya tetap ngotot dengan peta pedomannya masing-masing. Akan tetapi, meskipun keduanya berbeda pedoman, keduanya tidaklah dibenarkan saling melukai, saling menjahati, apalagi sampai saling membunuh, karena pilihan masing-masing dari si A dan si B tentunya dibatasi sampai wilayah debat yang pada dasarnya keduanya belumlah sampai tujuan; apakah Jakarta ataukah jurang yang curam sebagaimana yang dilukiskan dari masing-masing peta pedoman kedua belah pihak. Justru, ketika masih di Jogjakarta, si A akan menyayangi sekali saudaranya si B, karena menilainya si B nantinya akan masuk jurang yang curam. Pun sebaliknya bagi si B atas saudaranya si A. Wujud sayangnya, misalnya dengan memenuhi segala keinginan saudaranya, bukan melukai apalagi membunuhnya.

Analogi di atas, digunakan sebagai sarana memahami “kafir” dengan kata kunci: A dan B sebagai manusia (saudara), Jogjakarta sebagai bumi, Jakarta sebagai tujuan (surga), peta sebagai pedoman keyakinan (kitab suci), sedangkan kebenaran Jakarta di Timur atau di Barat itu sebagai “jalan” yang masih diperdebatkan oleh masing-masing agama yang berbeda. Adapun “perbedaan” yang ada di dalam pilihan dari masing-masing A dan B, disebut “kafir”. Dengan analogi ini, harapannya lebih mudah dalam memahami tentang definisi “kafir” dalam Islam.

Sayangnya, sekarang ini masih banyak umat Islam yang pada dasarnya sama sekali tidak tahu tentang Islam namun sok-sokan melaksanakan ajaran Islam. Padahal, Islam sendiri menilai orang yang demikian amal ibadahnya tidak diterima dan apabila sampai melakukan kejahatan harus dihukum sesuai dengan apa yang dilakukannya, “Amal tanpa ilmu, itu tertolak.

Walhasil, apa yang dilakukan terorisme yang mengusung bendera Islam sebagaimana yang digembar-gemborkan media massa, bukanlah ajaran Islam, dan justru sebaliknya, ajaran Islam justru mengecam tindakan teror yang seperti itu. Terimakasih....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline