Lihat ke Halaman Asli

Coba Deh Bayangin

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13667399501277084853

[caption id="attachment_239695" align="alignleft" width="200" caption="coba deh bayangkan.."][/caption] Coba deh bayangin…

Menyebalkan bukan kalau posisi kamu sebagai si perempuan?? Bertemu dengan seseorang yang membuat kita klepek-klepek, tapi endingnya kaya gambar disamping?? Kok? Kok? Kok? Ini yang namanya derita lo alias DL. Apa boleh buat, namanya juga perempuan, ini soal perasaan. Ada sangkut pautnya dengan hati. Ada kaitannya dengan emosi yang menggelora, mengharu-biru, mendayu-ndayu, dan merintih-rintih. Hemmm ujung-ujungnya menguras air mata, dan pasti ujung-ujungnya memang bukan duit, karena memang bukan anggota dewan yang terhormat.

Tau gak sih? Ini kisah bermula setelah aku putus dengan sang mantan. Empat bulan kemudian, sekonyong-konyong sang bibiku yang super-super jago marketing seenaknya sendiri ngasih lihat foto seseorang. Hemmm kesan pertama biasa aja. Tapi kesan yang paling aneh adalah… emang aku gak laku apa, kok sampai-sampai ada sales marketing jodoh gratis nyamperin duniaku yang baik-baik saja?? Hwaaaa…. Dan yang paling parah ternyata si cowo emang empat tahun lebih muda dariku. Idihhhh… busyetttt. Hah?? Ga’ salah?? Perasaan kalau liat artis-artis TV beda 12 tahun, beda 8 tahun, yang perempuan lebih tua, gak ada masalah deh, mereka terlihat nyaman-nyaman saja, serasi, masih unyu-unyu juga, so sweet lebay-lebay dikit gitu sih… tapi ini aku yang baru mau dikenalin, kok udah perang batin ya?? Uhh gimana gitu. Gimana sih…. Ya gitulah…

Strategi menghormati dan demi menjaga perasaan bibiku adalah tetap pasang senyum meringis gratis sok diberi pemanis, emmmm…. Tapi senyumnya ga usah yang lebar-lebar amat, cukup senyum bibir tipis aja, alias ga kelihatan giginya ala iklan produk pasta gigi. Meski jujur, di dalam hati meringis, nahan kesal ga kesampaian dikeluarin. Mungkin kaya gunung kalau lagi batuk kali ya… magmanya ga keluar. Oke. Oke. Bibi ngomong begini, oke. Bibi ngomong begitu, oke. Emmmmm… orang tua, ga perlu di kasih tahu, tar juga bibi dengan sendirinya akan legowo melambaikan tangannya kepadaku, pertanda menyerah.

Next day. Bibi bilang…

“ Aku sudah telepon Mas Gion, katanya ya ga pa pa di kenalin.”

Next jawabanku…

“ gitu ya…” plus senyum tipis gratis sok nambah pemanis, dan sedikit mengurangi meringis.

Next ucapan bibi…

“ iya… makanya kamu… kamu…. Kamu… kamu…. ” uh keluar semua tuh jurus-jurus marketing cinta ala bibi.

Next tulisan… dan sebagainya, dan sebagainya, bla bla bla bla…

Lanjut cerita yuk. Eh eh eh ternyata, yang ngaku-ngaku punya nama Mas Gion telepon juga ke nomorku. OMG. Ya gusti pengeran. Kesan pertama? Emmmm ini kembali ke perasaan wanita ya. Pertama kali dengar suaranya…

“ halo… ini benar keponakannya Bu Sri ya?”

Sumpah, suaranya adem gitu. Nenangin jiwa dan perasaan. Bikin teduh pikiran. Bener-bener dah pokoknya, perumpamaannya bikin padang pasir di hatiku sekejap berubah jadi padang rumput penuh bunga bermekaran nan mewangi. Ehemmmm…. Aku kembali ke alam sadarku. Dan teringat samar-samar wajahnya di foto yang dulu. Hehehe dia adikku.

Lanjut pembicaraaan by phone…

“ iya halo, iya benar. Ini siapa?” emmm sok-sok pasang nada bicara gak yakin dan penasaran.

“ saya mas Gion…” aduh berapa huruf dia ngomong, berapa kata yang kudengar, udah bikin melayang.

“ ya mas…” ku beranikan nyapa pakai kata mas, emmmm lebih sopan begitu kayanya.

“ SMA mana? Lulus tahun berapa?”

“ SMA Kebanggaan Bangsa, aku tahun 2004. Kalau mas?”

“ SMA Taruna Mandiri, 2007…” glek. Jawabannya bikin aku nelen ludah berkali-kali. Heeee… berondong..

Lanjut cerita, teleponnya berlangsung selama satu jam setengah. Ya biasa ngobrol-ngobrol awal, yang santai, ringan-ringan, perkenalan masing-masing karakter dan kegemaran. Hemmmm… lanjut ya gitu. Awal-awal penuh canggung dan jaim-jaim ala ABG.

Komunikasi, good, intens, lancar, ibarat kata jalan tol, kalau ada hambatan yaw ajar, kecelakaan, macet bentar, lancar lagi. But sekian lama sekian beralih dari sering telepon, ke sering sms. Dan itu semua emang bisa dinikmati, karena kami memang jarak jauh. Surabaya-Bekasi. Hadeee…..

“ dik… nanti tolong aku minta dibangunin pukul 3.30 ya…”

“ kok pagi-pagi amat mas??”

“ ya memang ada tugas. Tolong ya…” suaranya lirih, kaya berat menyampaikannya.

“ ya mas…”

Yuhuhuhu…. Ada yang Tanya ga… kok dia bisa nyapa aku dengan sapaan dik?? Hehehe mau tau aja apa mau tahu banget?? Emmm kasih tahu kali ya…. Awalnya begini…

“ ok. Mbak lagi ngapain??” itu setelah dia tahu aku lulus SMA tahun berapa.

“ kok Mbak sih?? Jangan donk, panggil Era aja”

“ gitu ya…”

“ iya mas, biar kita gak canggung dan biar enak ngobrolnya” pintaku, emmm padahal gak nyaman banget di panggil mbak.

Pernah beberapa waktu kemudian, kapan hari ya itu, emmm pokoknya masih awal-awal telepon dah, dia nyapa aku pakai sapaan mbak.

“ Mbak masak apa tadi??”

“ kok mbak lagi sih mas??” nada bicara yang agak sewot plus mulut dimanyun-manyunin, meski dia gak liat, gapapa, sah-sah aja kok.

“ eh iya, maaf dik. Habisnya aku sering manggil mbak ke perempuan-perempuan, ya meski usianya lebih muda”

“ gitu???” nada sedikit merendah dan halus.

“ iya, sudah kebiasaan soalnya… “ tambahnya jelas.

“ sebenarnya Mas nyaman manggil aku mbak apa dik sih?” nada meninggi lagi. Heheee mulai berani nih.

“ iya dik, dik. Lebih nyaman dik sih.” Tempo menjawabnya cepat, entah panic entah takut gak sopan atau dibawah tekanan, entah apa ya… ga paham

This your time…. Entah apa kelanjutannya, suara hpku yang berdering kencang. Sebuah nada alarm berbunyi keras. Sengaja aku memakai lagu bahasa inggris yang rancak dan menggelegar, memecah lelapnya tidurku, yach meski gak paham apa maksud lirik lagunya, yang penting aku bisa melek dan membangunkan Mas Gion. Emmmm jujur, aku seperti ketimpa batu meteor pemberi semangat, aku pun tak merasa terbebani dengan permintaan mas Gion, yang nota bene aku seringnya bangun pukul lima lewat. Hehehe…

Satu panggilan, dua panggilan ga tersambung. Next panggilan…

“ halo mas… “ belom sempat aku meneruskan kalimat…

“ halo. Makasih ya dik. Makasih banget udah bangunin aku.” Suaranya masih parau.

“ iya mas. Ya udah pean siap-siap ya sekarang.”

“ iya dik, makasih ya”

“ iya. Sama-sama.”

“ tut tut tut tut tut tut tut…” aku matikan panggilan dah.

Satu bulan kemudian, akhirnya kami bisa empat mata saling puas memandang. Hemm meski pasti ada malu-malunya. Wajar. Okeh. Lanjut. Kesanku kok datar, tidak ada yang berkesan, tidak ada yang special, biasa aja. Hemmmm… apa karena baru pertama kali bertemu, atau hanya perasaan atas ketakutanku yang sudah negative thinking?? I don’t know. Positif thinking. Tetap ukir senyum. Tetap ramah. Dan satu lagi, jangan sok tua. Ya paling tidak aku berusaha memahami dan mengimbangi pola pikir dia. Beuhhh bahasanya…

“ mas mumpung mas masih disini, yuk jalan kemana?” lewat sms.

“ gak bisa dik, ni aku lagi jalan ama teman-temanku.”

“ ………..” kubalas dengan sms titik tititk kekecewaan di hatiku. Tak ada pulsa keberanian untuk mengirim padanya.

Lagi….

“ mas bisa jemput aku, anter aku pulang ya?”

“ emmm aku lagi potong rambut ama temanku… gimana ya…”

“ ya teman mas biar aja pulang sendiri…”

“ gimana ya, aku ama temanku ni…”

“ trus sekarang sebenarnya bisa apa gak jemput aku??”

“ emmm maaf ya, gak bisa. Gapapa kan??”

“ ya gapapa, ok. Met potong rambut, met dilanjut aja. “ huhhhhh padahal jujur rasanya hati diiris-iris pakaai pisau super tipis, ditusuk-tusuk pakai linggis, dicangkul-cangkul pakai cangkul, huh ampai gak kelihatan senyum di mukaku sirna di tindihin kecewa.

Pas dia balik ke Surabaya…

“ aku balik dik…” hanya lewat sms. Itupun smsnyaudah diperjalanan. Hah?? Lho?? Kok?? Kok gitu?? Kok bisa?? ……??? Tanda Tanya gak habis-habis. Sebelum tanda Tanya, tanda titik juga gak habis-habis.

“ ya mas. Eh iya Mas hari ini balik ya. Aku juga on the way pulang. Hati-hati dan semoga selamat sampai tujuan.” Kubalas sms dengan terpaksa, itupun 30 menit setelah sms darinya, masih kesel, masih kecewa, marah, benci, dendam kesumat, apalah istilahnya.

Hingga kutulis cerita ini di buku diary kusamku, masih dia mendiamkan hp-ku. Dia mungkin sudah enggan mendengar suaraku, atau berkirim huruf untukku. Tak ada dengungnya lagi. Aku terdiam. Terdiam dan tenggelam cukup lama dipikiran tentangnya. Akhirnya… aku raih hp-ku. Aku hapus nomor dan fotonya. Udah selesai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline