Lihat ke Halaman Asli

Netizen, Berhentilah Menghakimi Jaksa Kasus Novel dengan Sumpah Serapah!

Diperbarui: 14 Juni 2020   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Instagram.com/fedrick_adhar)

PROFESI Jaksa Penuntut Umum (JPU) kembali menjadi sorotan publik, tatkala tuntutan hukum kepada Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, terdakwa penyiraman air keras ke Penyidik KPK, Novel Baswedan dinilai terlalu ringan bila dibandingkan perbuatan yang telah dilakukan.

Di beberapa lini masa sosial media, warganet (nitizen) turut mengambil simpulan berbeda-beda. Berdasar pantauan, ada beberapa simpulan atas tuntutan tim JPU kepada kedua terdakwa, disertai tanggapan penulis didasari landasan yuridis formal dan hasil kajian ilmiah yang dilakukan lembaga penelitian hukum. 

Hal ini dilakukan sebagai upaya proporsional menanggapi peristiwa yang tengah terjadi. Antara lain:

Pertama, menganggap tuntutan tim JPU kasus Novel sarat akan kepentingan tertentu. Yang melatarbelakangi hal ini ialah kedua terdakwa berprofesi sebagai anggota kepolisian. 

Dan yang paling dekat dengan instansi Polri dalam proses penegakan hukum hanya dua: lembaga Kejaksaan dan Pengadilan. Tentu anggapan ini tidak berdasarkan kajian ilmiah, atau sekadar pembenaran belaka.

Karena di dalam kajian ilmu hukum, tiap mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah “Pengantar Ilmu Hukum,” tentu telah mengenal apa itu independensi penegak hukum, termasuk JPU dalam melayangkan tuntutan kepada pihak yang diduga melakukan tindak pidana.

Yang menjadi landasan yuridis formal atas pernyataan ini ialah pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, secara eksplisit menyebutkan “Bahwa Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan wajib melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.”

Dasar hukum tersebut telah memberi gambaran bahwa JPU berhak melayangkan tuntutan ringan maupun berat kepada pihak yang diduga melakukan tindak pidana dengan merdeka, tanpa ada intervensi pihak manapun.

Kedua, membandingkan tuntutan hukuman kasus Novel dengan kasus-kasus lain yang serupa, yakni kasus penyiraman air keras. Menanggapi hal ini, secara pribadi sebagai alumnus Fakultas Hukum sangat kurang sependapat dengan perbandingan tersebut.

Alasannya ialah preferensi berat ringannya hukuman tidak boleh diukur dengan mengambil sampel kasus yang jelas berbeda, meski terlihat sama. Toh nanti akan ada akhir dari proses hukum bernama putusan hakim. 

Putusan hakim inilah yang akan menentukan tuntutan JPU diterima atau tidak, biasanya hakim dalam mengadili perkara akan menambah berat hukuman yang berbeda dengan tuntutan JPU. Atau istilah hukumnya ultra petita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline