Boleh jadi ada rasa merayap pelan di hati kita (setuju atau tidak?), berat menolak kenyataan betapa sukarnya kini, menemukan manusia berbudi luhur seutuhnya. Manusia tempat khilaf bersemayam. Hendak dicari kemana manusia yang bukan pendosa, bersih tanpa cela. Carilah kemana saja jika benar masih ada, tentu populasinya tak banyak. Sedikit sekali.
Tak elok berpayah mencari jauh, mumpung masih momentum puasa, intiplah karat di hati, koreksi diri sendiri dalam sunyi, dalam riuh...
Nonton tayangan teve, penangkapan Nazaruddin di Cartagena Kolombia, terborgol, disorot kamera, diapit petugas keamanan. Kaku dan hening. Nazaruddin tak berkata-kata, tak mengalir ceria seperti ketika wawancara via Skype dengan Iwan Piliang. Nazaruddin berbaju kaos, letih dan dingin. Terlepas dari kemungkinan, skenario atau teori apapun dilontarkan para pengamat, betapa sulit menjadi Nazaruddin, perihnya rasa malu ditanggung anak-anaknya, isteri dan kerabat.
Saya tak sedang membela Nazaruddin, namun coba menengok sebagai manusia biasa, mari sejenak berhenti berdebat, terlepas dari kekeliruan/ pelanggaran yang tertoreh (mesti dibuktikan lewat pengadilan), di layar kaca dia nampak kusam, bahasa tubuhnya berkata ada beban berat. Tugas aparat hukum untuk menuntaskan kasus ini dengan adil dan beradab. Menyeret semua.
Kalau diizinkan berandai-andai; bila disuruh memilih, mungkin Nazaruddin hanya menghendaki satu hal; memutar mundur jarum jam sejarah, ke masa awal kala baru memulai karirnya, berada pada pilihan keinginan; terjun aktif atau tidak dalam jagat politik? Jadi anggota dewan, pengurus partai atau memilih jadi warga negara biasa saja? Jadi petani di desa misalnya, bahagia, bekerja tenang, tanpa harus memeras otak untuk mengurusi ini itu yang tak ringan.
Manusia dan pilihan hidup, apapun itu selalu berbayang resiko. Tak memilih pun, sejatinya juga sebuah pilihan. Berdiam atau berpindah hanya bentuk dari gerak manusia. Oleh itu, selepas pikir, bertanyalah sejenak pada rasa, sebelum memilih.
Bagi kita, Nazaruddin secara langsung atau tidak, mengirim sinyal pesan untuk dicerna:
Pertama, (jika nyanyiannya bisa dibuktikan di pengadilan), menjadi alarm bahaya bahwa ternyata korupsi tak mengenal batasan usia, tua atau muda. Yang muda malah bisa lebih dahsyat?
Kedua, gelembung opini, bahwa partai politik dan organisasi berbasis massa lainnya patut diduga, mengalami pembusukan justru oleh orang dalam. Ini pekerjaan rumah bagi parpol, ormas dan lembaga negara untuk berbenah.
Ketiga, kuat anggapan, perilaku korupsi dalam jumlah besar, senantiasa melibatkan tim kerja tertentu yang rapi terorganisir, bukan semata buah tangan satu orang saja.
Keempat, kian sulit bagi rakyat harus meletakkan kepercayaan pada siapa.
Kelima, persis seperti pendapat Syafii Maarif, betapa kita kekurangan negarawan, para politisi kita belum tergerak berubah jadi negarawan.
Keenam, bersilat lidah menjadi strategi pihak tertentu untuk mengendalikan situasi. Entah itu efektif atau tidak?
Ketujuh, jauhi korupsi jika ingin hidup tenang, bahagia dan terhormat
Nazaruddin, cermin bagi kita untuk introspeksi dan belajar, manusia manapun potensial berbuat salah, kewaspadaan perlu dipelihara setiap anak bangsa. Jaga diri masing-masing. Salam !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H