Lihat ke Halaman Asli

Nyeri di Tubuh Bangsa, Kapankah Reda?

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Rasa sakit itu berguna, kebanyakan orang merasa tak nyaman dengan rasa yang satu ini. Rasa sakit atau lebih tepatnya, nyeri, menjadi satu instrumen pelindung tubuh, sejenis alarm bahaya bagi tubuh bahwa tengah berlangsung kejadian yang mengancam. Betul, ada mekanisme internal tubuh yang bekerja untuk mengeliminir kerusakan lanjutan, bayangkan saja bila anda, tak sengaja menginjak besi panas; bila tak menghindar, kulit akan bengkak melepuh, syaraf dan jaringan sehat bisa rusak atau mati. Sederhananya sih begitu. Uniknya sensasi nyeri itu sangat subyektif, kadar persepsi tiap orang atas stimulus nyeri dapat saja berbeda, sebagai bagian dari pengalaman personal. Oleh sebab itu sebagai pengalaman personal, hingga kini tak ada alat ukur yang dapat menakar kadar nyeri secara obyektif.

Suatu stimulus nyeri yang sama dapat saja ditanggapi berbeda oleh orang yang berbeda, misalnya saja tubuh kita terkena pukulan, bisa terasa sakit dan tidak menyenangkan, namun pada individu tertentudapat terasa tidak begitu sakit atau malah tak menimbulkan gangguan sama sekali.

Tak perlulah pada individu yang berbeda, pada individu yang sama, satu stimulus yang samadapat terasa berbeda, dipengaruhi berbagai faktor, ruang, waktu, kondisi psikologis dan sebagainya. Persepsi atas nyeri; sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta mekanisme internal dalam diri manusia, mekanisme tubuh pun bisa memberi respon berbeda, contoh kasus; bila anda tertusuk paku sehabis menang undian satu miliar, mungkin nyeri yang dirasa akan berbeda bila tertusuk paku dalam keadaan biasa, atau bagi serdadu yang tertembak di medan perang, kala menjalani proses operasi mungkin anti nyeri yang dibutuhkan tak sebesar bila operasi itu dilakukan pada kondisi damai, jadi ada suasana kebatinan berkelindan, mewarnai interaksi psikologis dalam kuat atau lemahnya persepsi nyeri di otak. Karena persepsi nyeri bersifat subyektif, maka kekhasan dan otonomi tiap individu layak dipertimbangkan. Pada prinsipnya, nyeri tak boleh dianggap remeh, sebab rasa yang satu ini sangat vital bagi keberlangsungan hidup dan bagi tercapainya standar kualitas hidup tertentu. Tentu kita pasti setuju, bahwa bila rasa nyeri diperam terus, dibiarkan tanpa penanganan lanjut, sungguh akan mengeroposkan kapasitas insani kita sebagai manusia. Tak banyak yang bisa dikerjakan oleh mereka yang hidup dengan nyeri. Setidaknya dalam skala individu demikian.

Lalu bagaimana dengan rasa sakit atau nyeri yang menimpa bangsa secara kolektif? Nyeri karena kemiskinan, nyeri karena lapar, nyeri karena keadilan dibakar jadi abu, nyeri karena lapangan kerja tak pernah bisa dibuka seleluasa mungkin sehingga tak perlu lagi ada satu pun anak bangsa harus jadi pengangguran dan depresi atau harus jadi penjahat kelas teri. Nyeri karena harta rakyat dirampok oleh mereka yang berbusa-busa menyebut diri sebagai penyambung lidah rakyat, menyebut diri sebagai pemimpin. Nyeri karena perbatasan kita dipatok seenaknya oleh negeri jiran. Nyeri karena wanita kita ditendang, diinjak dan dibunuh saat sedang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah yang jauh di negeri sana. Nyeri karena tak bisa lagi kita menaruh beda; mana yang sejati dan mana yang palsu. Nyeri karena kesialan itu bagai hujan deras, menimpa di setiap atap rakyat kecil yang lemah dan terpinggirkan. Nyeri karena perubahan yang kalian janjikan, dalam setiap kampanye dan propaganda politik itu, ternyata sebentuk omong kosong yang puitis.

Nyeri di tubuh bangsa sejatinya bukan sekadar pertanda bahaya biasa, namun ialah sebuah keadaan yang butuh tindakan darurat, itu bila kita ingin bangunan kesatuan kita, sebagai bangsa, sebagai negara tetap utuh dan tidak habis.

Karena nyeri kian mendera, maka kita butuh terapi, butuh penanganan komprehensif, dari segala aspek. Sebab nyeri tak berhenti sebatas nyeri saja, nyeri serupa puncak gunung es bagi timbunan problem, nyeri berlebihan, akan terus membebani tubuh bangsa ini untuk bergerak menyempurna, dalam tugasnya untuk membagi sejahtera di setiap periuk anak bangsa, membagi rasa aman pada segala jengkal tanah negeri.

Mustahil bagi bangsa ini, dapat beraktivitas normal mengejar cita-cita, bila nyeri masih terus mendera. Bergerak sedikit nyeri, tidak bergerak juga nyeri. Tubuh bangsa kian rapuh menanggung nyeri, Untuk itu, kita merindu lahirnya pemimpin yang bermental penyembuh, hadir membawa sehat bagi semua.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline