Lihat ke Halaman Asli

Kalape ; pedihnya stigma

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ia berumur empat dekade lebih sedikit, masih kuat bekerja, tinggi badan seimbang, rambut hitam, kulit coklat. Selain rajin, ia juga pandai berhitung. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbincang santai dengannya. Di teras sebuah rumah sakit jiwa di salah satu kota. Sebut saja namanya Kalape, ia memang bekerja di situ, giat dan membantu apa saja. Merapikan ruangan sampai membantu tenaga medis untuk menangani pasien yang mengamuk.

Di rumah sakit jiwa, kejadian tidak terduga kapanpun bisa terjadi. Pasien mengamuk tiba-tiba, berteriak histeris, berusaha mencelakai sesama atau melukai diri sendiri. Nah, pada kondisi begitu Kalape turut berperan. Selain itu Kalape juga multifungsi, sebagai kurir antar bangsal, menjemur kasur, memotong rumput dan sebagainya.

Saat mengunjungi kawan di rumah sakit. Mata saya menangkap Kalape, duduk selonjor di atas rumput yang menghijau halus di samping bangsal. Saya mendekat, senyum dan tegur sapa seramah mungkin. Kami pun terlibat percakapan. Kalape bertutur, awalnya ia adalah guru sebuah sekolah di propinsi sebelah. Karena kejadian tertentu, Kalape mengalami depresi parah, menjurus kepadaskizofrenia, kepribadian terbelah. Ia pun menjalani perawatan cukup lama sampai sembuh. Selepas keadaan menjadi terkendali, Kalape balik ke kampung halaman, perasaannya berbunga. Namun sungguh pedih, keluarga dan masyarakat di kampung memvonis bahwa Kalape tidak mungkin sembuh. Harus waspada dan jangan beri keleluasaan sebab nanti bisa berbuat aneh-aneh.

Kalape dikucilkan, ia sadar tak ada lagi tempat baginya di kampung itu. Di tengah konflik internal, Kalape memutuskan untuk kembali ke rumah sakitnya dahulu, untuk mengabdikan sisa usia. Bekerja sebagai sukarelawan tanpa di bayar. Ia menemukan dunia baru, berada di tengah-tengah manusia yang mengalami gangguan jiwa. Kalape murah senyum pada setiap pengunjung. Ia pun berkata bahwa sebagai mantan pengidap gangguan jiwa, ia memilih berumah di tengah pergulatan orang-orang yang berjuang untuk menemukan diri.

Kisah sejenis jumlahnya tidak sedikit. Sudah bukan perkara baru jika eks ‘orang gila’ tetap dituduh sebagai orang gila, diwaspadai secara berlebih dan cenderung dibatasi peluang hidupnya oleh masyarakat sekitar. Entah bagaimana cara merubah paradigma ini. Stigma negatif yang diterima mantan pengidap gangguan jiwa, sungguh boleh jadi berlipat lebih berat terasa, ketimbang penyakitnya sendiri.

Sekedar berlatih, bayangkan anda mengalami stres berat, dimasukan dalam rumah sakit jiwa. Sesudah berjuang untuk sembuh dengan perjuangan berdarah-darah. Anda pun pulih, sehat. Tapi ternyata stigma terlanjur menempel. Kejam. Masyarakat di sekitar pun mengambil jarak. Duh betapa pedihnya.

Kita terhentak betapa sebagai manusia biasa, setiap kita rentan mengalami gangguan fisik maupun psikis. Semuanya terpulang lagi pada ketangguhan mental menerima hidup apa adanya.

Salam.

Foto by Sri Eka Sari, model Boy Awaluddin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline