Bisnis hiburan memang susah matinya, permintaan akan bisnis satu ini tetap ada apalagi di tengah pelik sesaknya tekanan kota, mendorong individu yang mengalami ketegangan untuk mencari sarana pelepas dari beban berat yang mendera. Kira-kira seperti itu.
Yang menarik dicermati adalah apakah otoritas berwenang telah menegakkan semua aturan terkait bisnis yang satu ini. Termasuk di dalamnya adalah tata letak dan pertimbangan sosiokultural masyarakat di sekitar tempat hiburan malam.
Apalagi wilayah sekelas Makassar sebagai daerah paling berkembang di timur Indonesia, sejarahnya panjang berabad sebelum Republik berdiri. Maju pesat beberapa dasawarsa terakhir, hampir di segala bidang berbenah. Hanya sedikit mengganjal rasa, ketika baru pertama kali masuk ke kota ini lewat jalur laut; pelabuhan Soekarno Hatta. Saat keluar dari gerbang pelabuhan kita bertemu jalan Nusantara yang mengapit sisi depan pelabuhan. Pemandangan baru, dijumpai jika anda kebetulan turun dari kapal di malam hari dan sampai di jalan Nusantara; suasana terpampang; berjejer Tempat Hiburan Malam (THM), rapat bagai tusuk sate. Menurut sejumlah informasi, patut diduga berfungsi pula sebagai tempat prostitusi. Di malam hari selepas Isya, para wanita berpakaian minim berdiri di sekitar THM, sebagian malah memanggil-manggil lelaki yang boleh jadi hanya sekedar berkendara melewati jalan. Bisnis hiburan di Nusantara mengisi pundi pendapatan asli daerah namun dalam bulan Ramadhan, tidak diizinkan beroperasi sebagai bentuk penghormatan atas bulan penuh berkah. Apa tidak berniat untuk seterusnya ditutup? Hehe....
Rasanya ada spirit yang kurang sejalan, mengingat lokasi THM ini berdekatan dengan obyek vital pelabuhan yang menggunakan nama pendiri bangsa, Soekarno Hatta. Jalan yang ditempati pun bernama jalan Nusantara (nama lain Indonesia). Unik ya, sebagai kilas balik, Soekarno Hatta dahulu berjuang memerdekakan Nusantara, tentu tak terbayang di benak mereka jika kata Nusantara yang begitu luhur kemudian menjadi nama jalan bagi tempat beroperasinya THM. Apalagi mengingat Makassar, kota yang boleh dipandang sebagai representasi Indonesia Timur. Apakah layak jika gerbang timur Indonesia dengan pelabuhan yang meminjam nama Proklamator yang kita hormati. Berhadap-hadapan dengan tempat hiburan malam yang eksistensinya digugat kaum agamawan. Indah nian jika otoritas berwenang, tergerak untuk memoles wajah area di depan pelabuhan itu menjadi lebih sejuk, sopan dan berbudaya.
Bila diizinkan untuk menduga, kira-kira apa yang ada dalam pikiran orang-orang yang baru pertama kali datang ke Makassar lewat laut, keluar dari pelabuhan langsung “disuguhi” tontonan THM dengan wanita-wanitanya. Kaget? Merasa terusik? Biasa saja atau malah senang? Entahlah, berpulang pada pandangan masing-masing orang.
Yang menggelitik hati, rasa-rasanya tidak rela saja bila nama besar Soekarno Hatta yang menjadi nama pelabuhan ‘diletakkan’ berdampingan dengan THM yang beroperasi di atas tanah jalan Nusantara, apalagi mengingat sejarah dan kebudayaan Makassar yang religius .
Salam kompasiana.
---------
Sumber foto: http://4.bp.blogspot.com/_LiYlDl-_GAA/StsW_Y0ligI/AAAAAAAAAR0/8TZF6upObj0/s1600-h/DSC00750.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H