Lihat ke Halaman Asli

Gaia

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Konon bagi para astronot yang sedang bertugas di stasiun angkasa internasional (ISS: International Space Station), pengalaman menyentuh dialami, tatkala dari wahana luar angkasa itu, melihat ke bawah, nun jauh di sana terbentang lengkung bulatan bumi dengan segenap horison, biru bumi yang aduhai indah, permai dalam detak hening. Bumi kita yang memendarkan selimut cahaya di sekujurnya, bagi para astronot, sungguh pengalaman mahal dan berkesan; bukan saja karena pesona magis bumi, namun juga oleh desakan rindu pada sanak keluarga, anak, isteri/suami, kerabat yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan, dan ingatan pada berbagai tempat di bumi yang telah mengguratkan kenangan dalam perjalanan hidup. Kalau saja curiga diizinkan, agaknya para astronot terpukau pada bumi, selain karena berbagai alasan tadi, jauh lebih dalam lagi; sebentuk ungkapan syukur dan terima kasih pada anugerah kehidupan yang tiada berhingga, yang telah dikecap sejak dulu. Sejenis kerinduan insani yang manifest sebagai kesadaran kolektif, bahwa dalam kagum dan rindu, pasti ada terima kasih disitu; serupa doa-doa yang dilafalkan tanpa bait tanpa kalimat. Kenapa pula manusia tergerak untuk menjelajah angkasa, mencari tantangan baru di batas terluar cakrawala, apa motif penyerta? Ekonomi, politik, dominasi atau apa? Memang membahas motif tak begitu menarik lagi kini, apalagi bukan pada tempatnya berdiskusi tentang motif ketika umat manusia terus memacu diri untuk menjadi yang terbaik, tapi setidaknya ada banyak pengetahuan baru yang dihasilkan ketika proses “hijrah” dilakukan. Dahulu manusia bangkit dengan penjelajahan samudera untuk mencari daerah dan koloni baru, lalu dari situ kemajuan semakin tak terelakkan sebagai hasil dari pertemuan berbagai budaya dan semangat. Prinsip dasarnya ialah memulai hal baru sungguh tak mudah, tantangan tertebar dan resiko gagal mengintai. Kembali pada kisah astronot dan bumi, dalam tradisi Yunani, Bumi kita disebut dewi ‘Gaia” atau kemudian dilidahkan sebagai Geo, Gaea; dipandang sebagai mahluk hidup, bukan mahluk mati. Kata mahluk hidup yang dimaksud dan hendak ditafsirkan, jauh melampaui pengertian sempit yang dilekatkan oleh ilmu hayati (dengan sejumlah ciri mahluk hidup; makan, minum, bernapas dsb), namun terarah pada Gaia yang berproses menyempurna sebagai media tumbuh bagi mahluk lain di atasnya, dengan sejumlah prosedur kerja yang belum tuntas dipahami manusia. Bumi biru kita mempunyai mekanisme tersendiri untuk bekerja dan berproses. Manusia yang berdiam di atas tanahnya, hanya satu dari sekian banyak bentuk kehidupan lain; mulai dari dinosaurus, pepohonan hingga jasad renik yang tak kuasa diamati dengan mata telanjang. Bumi adalah rumah yang menyediakan segala kebutuhan apapun diatasnya, Bumi menafkahi semua. Bumi atau Gaia adalah Ibu bagi apapun di dalamnya dan segenap material yang setiap detik berlomba datang ke atmosfer kita. Gaia memiliki mekanisme ‘penyembuhan’ tersendiri ketika ada ketidakseimbangan, kata kunci yang membuat ia tetap eksis ialah harmoni dan kesabaran. Setiap interupsi Disharmoni akan direspon dengan berbagi cara, yang hingga kini belum juga dipahami utuh oleh manusia. Dalam kajian holistik, bencana tak berawal dan berhenti hanya sebagai bencana belaka, ia niscaya memiliki jejaring yang terkait dengan perilaku manusia, hewan dsb, termasuk pula karakter kepemimpinan yang menjadi panutan. Entah apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini, rumit diuraikan dengan satu dua kalimat. Menengok pada kedirian kita, ternyata jauh sebelum mantan wapres AS, Al Gore membuat film dokumenter ‘incovenient truth’ yang berkisah, bahaya dari pola hidup manusia/ masyarakat yang mengancam keselamatan planet Bumi, atau jauh sebelum aktifis lingkungan hidup berteriak, neraka yang mengintip dari pemanasan global. Para leluhur kita telah menitipkan bermacam nilai dan ajaran hidup, semisal di pulau Buton, ada penetapan kawasan Hutan lambusango sebagai “Hutan Kaombo” atau hutan keramat, dimana telah dilindungi sejumlah mantra/ doa atau perlakuan tertentu, yang jika coba dilanggar dapat berakibat fatal mulai dari jatuh sakit hingga meninggal dunia, ini menyebabkan masyarakat sekitar, tak berani menebang sesukanya tanpa seizin Sultan, apalagi sampai merusak kelestarian hutan. Di daerah lain di Indonesia, banyak hal serupa, seperti penetapan wilayah tertentu oleh penguasa lokal, sebagai kawasan hutan lindung dsb. Mungkin yang kita butuh kini, adalah kesediaan untuk menoreh tafsir baru atas berbagai kearifan lokal. Peristiwa melelehnya es di kutub, anomali iklim yang terjadi dan bencana di banyak belahan dunia semestinya mengetuk sadar kita bahwa ada yang keliru dalam pengelolaan Gaia. Bahkan menurut ilmuwan Stephen Hawking, dengan model eksploitasi bumi seperti sekarang maka suatu ketika bumi akan kehilangan daya dukungnya sebagai rumah bagi manusia dan makhluk lain. Ia pun memberi saran agar umat manusia secepatnya menaklukan angkasa untuk mencari planet baru sebagai tempat hidup baru. Bumi, we love you

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline