Suatu entitas hukum yang berada di Indonesia apabila hendak menjalin suatu perjanjian dengan pihak luar maka dalam perjanjian yang disusunnya perlu memperhatikan aspek formal dalam perjanjian. Salah satu aspek formal dalam perjanjian yakni mengenai Bahasa Indonesia didalam perjanjian. Pengaturan mengenai Bahasa Indonesia dalam perjanjian bagi entitas hukum di Indonesia sudah diatur didalam UU Bahasa dengan demikian maka setiap perjanjian yang dibuat dan disusun oleh para pihak haruslah dalam Bahasa Indonesia.
Apabila pihak asing yang menjalin hubungan hukum dengan entitas hukum di Indonesia menghendaki Bahasa dari negaranya maka perjanjian yang disusun dapat dibuat dalam versi bilingual sehingga kepentingan para pihak dalam perjanjian dapat terakomodasi dan demikian pula terhadap rujukan bahasanya yang dijadikan pedoman bagi para pihak juga perlu disepakati bahasa mana yang jadi rujukan kalau ada perbedaan. Persoalan apakah Bahasa Indonesia atau Bahasa Asing yang dijadikan rujukan oleh para pihak sebenarnya juga tidak menjadi masalah yang penting versi Bahasa Indonesia ada dalam perjanjian yang dibuat tersebut.
Akibat hukum dari dibuatnya perjanjian yang hanya berbahasa asing tanpa adanya versi Bahasa Indonesia maka perjanjian di antara kedua pihak tersebut "batal demi hukum" karena tidak memenuhi persyaratan 'kausa yang halal' sebagaimana diatur pada KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang dimuat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata juga karena bertentangan dengan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia di UU Bahasa.
Salam
Aslam Fetra Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H