Terkadang dalam pembicaraan mengenai budaya atau kebudayaan, sering sekali mendikotomikan antara barat dengan timur, seolah-olah keduanya merupakan kutub yang berbeda, berlainan, dan bertolak-belakang, seperti melihatnya bagaikan malam dan siang, atau bahkan hitam dan putih. Pendikotomian itu biasanya didasarkan kepada argumentasi bahwa barat atau orang-orang barat yang sering diwakili orang kulit putih yang berasal dari Eropa, Amerika Utara, Australia, dan belahan dunia lainnya memiliki persamaan akan individualisme.
Mereka dianggap lebih individual daripada orang timur, yang sering diwakili oleh orang-orang kulit berwarna yang berasal dari Asia dan Afrika. Jepang dan Cina misalnya sudah ada anggapan umum kalau mereka kuat kolektivismenya, hingga lebih mementingkan nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan.
Lalu apakah penilaian ini benar adanya, mungkin ada benarnya meskipun tidak seratus persen, namun yang pasti pendikotomian barat versus timur ini sudah tidak lagi relevan, apalagi kalau melihat dari prinsip individualisme dan kolektivisme yang dianut masyarakatnya.
Mengapa bisa seperti itu? Coba kita lihat dengan seksama, masyarakat saat ini yang ada di belahan dunia yang dianggap timur, seperti Asia, ambil contoh Jepang dan negeri kita sendiri Indonesia, apakah di sana masih lebih kuat masyarakatnya lebih kuat memegang individualisme ataukah kolektivisme?
Di Indonesia, yang konon masih kuat kekeluargaannya, nyatanya jika kita perhatikan lebih detail, maka justru akan banyak menemukan contoh-contoh betapa individualismenya sebagian masyarakat di negeri ini, tentu saja terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar.
Apabila mau jujur, nilai-nilai individualisme baik secara sadar maupun tidak sadar sudah banyak prakteknya di sebagian kalangan masyarakat yang hidup di perkotaan, di manapun mereka berada, tanpa melihat apakah mereka berkulit warna atau putih atau tanpa melihat mereka hidup di belahan dunia sebelah mana.
Sebaliknya nilai-nilai kolektivisme, meskipun semakin tergerus dengan derasnya perkembangan modernism di mana-mana, tetap saja masih banyak yang tertinggal nilai-nilainya, dan itu lebih kuat masih dipraktekkan pada desa atau pedalaman yang jarang berinteraksi dengan dunia luar. Dan sekali lagi, ini tidak melihat dari mana mereka berasal atau apa warna kulit mereka.
Hal ini sering terlihat pada masyarakat yang tinggal di pedesaan, baik itu di Eropa maupun Amerika Utara, masih banyak nilai-nilai kekeluargaan yang diadopsi masyarakat di sana, walaupun mereka bukan orang Timur.
Jadi di sini yang lebih tepat sebenarnya bukanlah pemisahan berdasarkan barat dan timur, atau bahkan dengan melihat warna kulitnya, itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Siapapun mereka, sepanjang mempraktekkan beberapa nilai-nilai yang diakui dan disepakati tanpa ada paksaan dari manapun, maka mereka akan diakui sebagai bagian dari masyarakat yang lebih mengedepankan kolektivisme atau individualisme.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, kalau kita menengok jauh ke belakang, sekitar ratusan tahun yang lalu, sebelum Eropa itu tersapu demam reinansance dan enlightenment, di saat mereka masih kental sistem feodalismenya, mereka itu masih kuat sekali dengan budaya kolektivismenya, hingga hampir tidak ada bedanya dengan tetangga mereka di Timur.
Sebenarnya yang menyebabkan suatu masyarakat akhirnya pelan-pelan mengadopsi dan mempraktekkan konsep individualisme itu lebih karena masuknya modernisasi, baik karena berinteraksi secara langsung dengan dunia luar maupun dengan derasnya arus informasi karena perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. Dan mengapa masyarakat perkotaan lebih cenderung individualis karena kemudahan akses mereka dengan dunia luar pastinya jauh lebih mudah daripada masyarakat pedesaan.