Selama hampir sepekan kemarin, anakku, lebih tepatnya anak sulungku kembali masuk rawat inap di Rumah Sakit, ini kali kedua itu bocah diputus dokter harus menjalani rawat inap, dan alasannya nampaknya tidak jauh beda yaitu karena frekuensi diare yang terlalu sering dan kurang diimbangi dengan asupan cairan pengganti yang cukup. Padahal jarak antara rawat inap yang pertama dengan yang kedua ini belum terlalu lama, belum sampai setahun lamanya.
Kondisi saat masuk itu bocah rawat inap yang kedua ini sebenarnya tidak terlalu payah seperti yang pertama, hanya saja karena beratnya turun hingga hampir 2 kilogram, akibatnya menurut dokter anak yang menangani memutuskan agar bocahnya menjalani rawat inap saja, terlebih lagi itu bocah diperkirakan belum pipis selama beberapa jam.
Maka diambillah keputusan rawat inap, seperti yang terjadi pada rawat inap yang pertama, terciptalah berbagai drama karena mungkin bagi hampir setiap anak kecil yang akan diinfus biasanya akan rewel dan nangis.
Saking traumanya sampai setiap ada suster atau perawat yang memang tugasnya sekedar mengecek suhu tubuh dan mengganti infus yang sudah habis saja, membuat bocahnya kembali nangis dan ketakutan disuntik lagi.
Aku selalu bilang kepada bocah itu, mungkin ini salah bagi pandangan orang tua lainnya, tapi caraku adalah selalu memberitahu bahwa yang namanya suntikan itu memang sakit, orang dewasa saja masih merasakan sakit kalau disuntik apalagi anak kecil, jadi kalau mau nangis, tidak apa-apa, yang penting jangan berlarut-larut nangisnya dan juga jangan sampai mengamuk karena tidak mau merasakan sakitnya.
Mengamuk, iya memang bocahku ini meski baru 3.5 tahun, waktu mau diinfus dan diambil darahnya kuat sekali meronta-ronta dan mengamuknya, sampai perlu empat orang dewasa, termasuk aku, ayahnya untuk memeganginya, para suster yang memeganginya pun mengakui betapa kuat tenaga bocah tersebut.
Kembali ke perawatan, setelah dapat kamar, bocah kami ini akhirnya masuk, dan aku, ayahnya yang memutuskan untuk kembali menemaninya, seperti yang beberapa bulan lalu aku lakukan, menemani itu bocah di rumah sakit.
Hal ini cukup beralasan, karena istriku, bundanya, bocah itu masih punya adek, yang masih menyusui, tentunya keberadaan ibunya lebih dibutuhkan disisi adeknya tersebut, sehingga biarlah ayahnya lagi yang stanby di rumah sakit.
Tapinya ibunya tetap bolak-balik ke rumah sakit setiap hari, bahkan sampai pernah dua kali visit dalam sehari, kadang bersama adeknya, tapi lebih sering hanya sendiri saja, karena jam besuk di rumah sakit ini memang secara umum ditiadakan semenjak pandemi kemarin. Di mana kami pun (bocahnya, bundanya, dan aku sendiri juga sudah harus melalui antigen terlebih dahulu sebelum dinyatakan boleh rawat inap).
Setelah kurang lebih empat hari, dokter anaknya membolehkan bocahnya pulang, dengan tetap membawa beberapa obat yang perlu lanjut dikonsumsi, dan diusahakan agar kembali lagi ke dokternya untuk rawat jalan diperiksa kondisinya setelah keluar beberapa hari dari rumah sakit.
Banyak pelajaran dari peristiwa ini, salah satunya kalau dikatakan minuman yang paling sehat itu ya air putih, soalnya kan bocah kami ini sering nanya selama sakit, minuman apa yang paling sehat, jawabannnya tidak lain adalah air putih. Tapi mungkin karena kesalahan kami dulu orang tuanya yang sudah membiasakan anak kami dengan minuman manis, jadinya itu bocah agak malas kalau disuruh minum air putih, bahkan cenderung harus agak dipaksa baru mau minum air putih.