Sejak hari senin kemarin, lalu lintas di jalan raya sepertinya cenderung lebih lancar daripada biasanya, situasi ini terlihat terutama pada jalan-jalan raya yang berada di wilayah urban seperti Bekasi dan Depok. Padahal selama ini jalan raya kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, kemacetan merupakan pemandangan rutin yang harus dihadapi setiap kali kita berangkat dan pulang kerja.
Ternyata penyebabnya adalah karena anak-anak sekolah yang sudah mulai libur sekolah. Ironis sekali karena aktivitas bersekolah anak-anak kita ini, meskipun bukan satu-satunya penyebab kemacetan, namun memberikan pengaruh yang tidak kecil dalam memacetkan kota-kota besar di negeri ini.
Sudah beberapa metode coba diterapkan, seperti adanya sistem zonasi, yang berarti setiap anak itu lebih besar peluangnya bersekolah sesuai dengan domisili orang tuanya yang tercantum dalam Kartu Keluarga. Atau di sisi lain, pihak sekolah atau pihak lain yang terkait dengan sekolah terkadang menyediakan jasa jemputan bagi anak, agar anak-anak itu tidak perlu dianter-jemput orang tuanya, yang biasanya membawa kendaraannya masing-masing, di mana hal itu berpotensi menimbulkan kemacetan.
Sayangnya penerapan sistem zonasi seakan-akan seperti hanya memindahkan titik kemacetan lebih dekat ke arah pemukiman atau jalan-jalan kabupaten yang menjadi lokasi sekolah itu berada. Sedangkan penyediaan jemputan anak sekolah karena tidak diwajibkan dan mungkin ada beberapa pelayanan yang kurang memuaskan, otomatis membuat sebagian orang tua lebih suka mengantarkan anak-anaknya langsung ke sekolah mereka.
Pengalaman penulis yang sering melewati sekolah-sekolah yang macet saat jam masuk dan pulang mereka, jangankan orang tua yang membawa mobil, banyak orang tua yang mengendarai motor hilir-mudik menjemput dan mengantar anaknya sering sekali menyebabkan kemacetan parah.
Apakah kondisi ini tetap kita biarkan begitu saja dan menganggap sebagai rutinitas umum sehari-hari? Kalau itu yang terjadi akan banyak masyarakat lain yang dirugikan, sebagai contoh bagaimana apabila ada mobil ambulance atau pemadam kebakaran yang harus lewat jalan semacam itu?
Nampaknya dulu pernah ada yang mengusulkan bagaimana jika jam masuk dan pulang sekolah itu tidak diseragamkan, tidak hanya dibagi berdasarkan jam masuk pagi dan masuk siang saja, namun ada jam-jam lainnya. Sebagai contoh, jam 08.00, 10.00, 12.00, dan 14.00 sebagai jam masuknya, mungkin dengan menguraikan waktu masuknya akan mengurangi bertumpuknya jumlah anak dan kendaraan yang akan mengantarkan dan menjemput mereka.
Atau solusi lainnya adalah dengan menggalakkan program Home Schooling, pemerintah lebih konsen untuk menjadikan program ini menjadi pilihan yang menarik dan tidak kalah dari program sekolah konvensional. Karena apabila banyak anak yang mengikuti Home Schooling, menjadikan berkurangnya kegiatan antar-jemput yang dilakukan secara berbarengan, karena pada umumnya aktivitas Home Schooling itu lebih bersifat individual yang disesuaikan dengan jadwal masing-masing anak.
Selain itu jemputan anak sekolah semestinya lebih diperbaiki pelayanannya, dan seperti bus sekolah yang berwarna kuning itu, mobil jemputan anak sekolah mungkin juga perlu diterapkan model yang tidak jauh berbeda, bahkan kalau bisa lebih baik.
Atau belajar dari masa pandemi kemarin, tidak ada salahnya menerapkan sistem kelas online bergantian dengan kelas offline, dibagi menurut persentasi jumlah siswa per kelas dan digilir setiap pekan atau bulannya, sehingga jumlah siswa yang masuk offline setiap harinya dapat berkurang secara signifikan dibandingkan sebelumnya. Tentu saja, kekurangan yang muncul saat penerapan kelas online waktu pandemi dahulu, perlu banyak perbaikan dan penyempurnaan, contohnya termasuk adanya subsidi kuota internet bagi keluarga yang kurang mampu.