Lihat ke Halaman Asli

Harga Tiket Pesawat Melangit, Efek Permintaan Tinggi atau Apa?

Diperbarui: 19 April 2019   17:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Malam Jum'at, tepatnya 18 April 2019 tidak sengaja sepulang dari Surabaya bertepatan duduk dengan seseorang yang tujuan kepulangannya sama. Sambil mengisi waktu perjalanan terjadilah perkenalan dan perbincangan seputar pekerjaan. Beliau bekerja di Bandara sebagai karyawan di bidang kanal udara pesawat yang mengarahkan arah lalu lintas pesawat di udara. 

Saya masih ingat kegundahan teman-teman mahasiswa program doktoral yang harus bolak balik dari daerah asal. Diantaranya Aceh, Riau, Manado, Makasar, Ambon, ternate dan Papua. Mayoritas mereka adalah sudah berkeluarga, oleh karenanya tuntutan pulang pergi menggunakan pesawat tidak bisa di hindarkan. Sementara disisi lain mereka harus segera mnuntaskan studinya. Bagi yang asal Aceh, mereka harus berfikir keras, membeli ticket untuk ke malaysia dan dari malaysia ke Indonesia. Bagi tempat lain tidak bisa demikian, karena harga sama-sama mahal.

Kisah itu saya saya sampaikan ke bapak itu, sehingga saya menanyakan kenapa akhir - akhir ini harga pesawat melambung tinggi. Bahkan sempat presiden meminta untuk menurunkan harga rupanya tidak begitu berdampak. 

Hal ihwal kenapa harga pesawat melambung, hal itu disebabkan diantaranya biaya operasional masing maskapai tinggi. Biaya tinggi salah satunya karena ada kebijakan kenaikan tarif knot mil lalu lintas udara yang dulu 3 (tiga) ribu per knot mil, sekarang 5 (lima) ribu per knot mil. Dan Pemerintah dalam pada bulan Juni 2019 akan menstandarkan menjadi 7 (ribu) per knot mil tuturnya. Alasan kenapa kebijakan ini bisa terjadi, masih menurutnya karena untuk menstandarkan harga masing-masing maskapai. 

Wal hasil ternyata demikian adanya, harga akan menyesuaikan biaya operasional setiap maskapai. Hingga yang terjadi malah semakin membuat masing2 maskapai jika dulu bagasi murah, sekarang mahal. Jadi mikir-mikir jika harus membawa oleh-oleh atau barang banyak. 

Bagian dari saya menganalisis, niat menstandarkan harga ternyata tidak menuju sasaran. Karena harga akan terbentuk baru dengan mencukupi biaya operasional. Hal ini mirip ketika listeik dicabut subsidi, Gas d cabut subsidi. kebijakan privatisasi setiap BUMN akhirnya membuat BUMN berfikir bagaimana memberikan sumbangsih ke negara sebagai pendapatan bukan paajak. 

Tidak bisa d pungkiri bahwa Anggaran Negara membutuhkan sumber yang maksimal. Namun yang patut difikirkan adalah bagaimana pembangunan disesuaikan dengan kemampuan negara. Jikalau kondisi sudah demikian, harga2 melambung tinggo mulai dari tiket pesawat, listrik, gas, maka tak ayal mebuat bisnis masyarakat mengalami hambatan. , layanan kredit perbankan tidak menjadi minat masyarakat, persaingan bisnis ketat, apa yang terjadi pada rakyar indonesia yang tidak berkemampuan? Apakah ini tidak akan menimbulkan kemiskinan baru bagi masyarakat? Mari menjadi renungan kita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline