Lihat ke Halaman Asli

Asita Suryanto

TERVERIFIKASI

Traveler

Beruntung, Saya Bisa Melihat Kawah Ijen Sebelum Ditembok Pemerintah

Diperbarui: 23 November 2017   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawah Gunung Ijen yang berwarna hijau tosca (dok pribadi)

Kawah Gunung Ijen di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, Jawa Timur sudah lama saya ingin datangi. Beruntung saya bisa mendaki sampai puncak Gunung Ijen bersama anak bungsu saya Dimas. Saya naik Gunung Ijen ketika belum rame-rame ada pembangunan rest area yang tepat dibangun di puncaknya. Jadi waktu saya datang masih asli.

Karena kampung halaman saya di Jember, perjalanan dimulai dari Kota Surabaya ke Kota Jember dengan bus. Dari Jember pindah bus antar kota lagi jurusan ke Bondowoso. Dari Terminal Bus Bondowoso ada angkutan desa menuju Kecamatan Sempol. 

Di Sempol ini adalah desa terakhir untuk naik mobil apabila menggunakan kendaraan umum. Dari Sempol perjalanan dilanjutkan dengan ojek sampai pos akhir Paltuding. 

Ongkos bus Surabaya-Jember, Rp 60.000, bus Jember-Bondowoso Rp 7.000, angkutan desa Bondowoso-Sempol Rp 15.000, dan ojek Rp 50.000 per orang. Ojek kenapa lebih mahal karena jalannya rusak dan menanjak. Jadi total ongkos perjalanan Rp 132.000 per orang dari Surabaya.

Saya sengaja menginap dulu di penginapan sederhana yang dikelola Kementrian KLH untuk menjaga stamina menunggu waktu fajar untuk saat terbaik mendaki Gunung Ijen. Tarip penginapan cukup Rp 100.000 per kamar tapi sangat sederhana dan bisa untuk tidur berdua saja.

Banyak berpapasan dengan penambang belerang (dok.pribadi)

Soal makanan di sekitar penginapan ada warung murah yang menjual nasi lodeh dan nasi goreng yang harga rata-ratanya buat orang pribumi Rp 15.000 per piring. Pengunjung tidak perlu khawatir soal harga makanan di sini. Karena pemilik warung membedakan harga untuk orang asing dan pribumi. Teh manis hangat juga cuma Rp 3.000 saja per gelas. Terus terang aja harga warung ini di sini memang dibedakan antara wisatawan asing dan wisatawan nusantara.

Esok harinya pagi-pagi sekitar pukul 05.30 saya sudah siap-siap untuk berjalan selama dua jam untuk mencapak puncak dan kawah Gunung Ijen tersebut. Banyak rombongan wisatawan dari Eropa yang bersama berjalan bersama kami untuk melihat kawah Gunung Ijen. 

Perjalanan naik gunung cukup terjal dan melewati jalan setapak berpasir. Saya sengaja jalan pelan-pelan dengan banyak istirahat maklumlah usia sudah setengah abad tidak boleh ngoyo untuk naik gunung. Alhamdullilah setelah dua jam saya bisa mencapai puncaknya dan melihat kawah Gunung Ijen yang berwarna biru tosca.

Puncak Gunung Ijen ketika streril dari pembangunan gedung (dok pribadi)

Melihat penambang belerang yang berjalan cepat naik gunung dan hanya satu jam berjalan mencapai puncak saya tidak patah semangat meskipun napas sudah mulai ngos-ngosan. Beruntung ada penambang belerang yang memberi  saya tongkat kayu sehingga saya bisa berjalan sambil memakai tongkat untuk menjaga keseimbangan.

Sesampainya di puncak rasa capek langsung sirna melihat keindahan kawahnya yang berwarna hijau toska berpadu dengan langit cerah kebiruan dan hutan hijau seklilingnya yang masih asri. 

Melihat penambang belerang yang membawa beban berat sekitar 50 kilogram belerang di pundaknya naik dari kawah ke puncak gunung nya kemudian dibawa lagi  turun ke Pos Paltuding ada rasa belas kasihan yang sangat dengan beban pekerjaan penambang yang dihargai hanya sekitar Rp 1.000 per kilogram belerang yang diangkutnya sejauh empat kilometer naik dan turun gunung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline