Tindakan kekerasan kepada anak dan perempuan akan mengancam masa depan mereka sepanjang masa. Dampaknya terutama kepada anak tak hanya luka fisik, gangguan kecemasan, atau stres, tetapi juga trauma psikologis jangka panjang.
Hal ini menjadi benang merah dalam acara diskusi bersama dengan tema “Bersama Mengakhiri Kekerasan Perempuan dan Anak” yang diselenggarakan Kompasiana di Jakarta Sabtu 3 Desember 2016.
Pemulihan jiwa anak atau perempuan akibat korban kekerasan tidak hanya melalui pendekatan dari pemerintah khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tapi diharapkan melalui pendekatan media sosial khususnya keterlibatan blogger dalam mencegah dan menghentikan kekerasan tersebut. Karena blogger memiliki kekuatan pendekatan secara personal kepada masyarakat.
Hal tersebut disampaikan oleh Agustina Erni, selaku Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Agustina menambahkan para blogger harus bersatu melawan predator yang tumbuh hampir 20 persen di tengah lapisan masyarakat yang yang sangat mengkhawatirkan dan berpotensi menjadikan anak seorang predator seks pada saat dewasa.
Sebagai kelompok yang dianggap lemah, anak-anak menjadi incaran paedofil yang bisa berujung pada kekerasan seksual. Maka, utamanya orangtua wajib melindungi anak mereka dari para predator seks.” Ayo kampanyekan anti predator,” ujar Agustina dengan semangat dihadapan sekitar 90 orang blogger Kompasioner.
Sementara Prof Dr Hamka Sri Astuti, dari Pusat Studi Jender dan Perlindungan Anak Universitas Muhammadiyah, yang sekaligus juga pendamping perempuan & anak Rusun Marunda mengatakan, predator seks anak bisa berada di mana saja. Orangtua harus mengajarkan anak cara mengajarkan dirinya sendiri. "Ajari anak bahwa bagian organ intimnya tidak boleh disentuh oleh siapapun, kecuali ibunya misalnya," kata Sri Astuti yang dengan sedih menceritakan pengalamannya mendampingi anak-anak korabn seksesual di Rumah Susun Marunda yang tingkat huniannya rata-rata dari golongan bawah.
Peran orangtua juga tak hanya mengajari anak, melainkan memberi dukungan secara emosional dan memberikan kasih sayang.Korban kekerasan seksual sering kali adalah anak yang ternyata kurang perhatian dan kasih sayang orangtua. Dengan ikatan yang kuat dengan orangtua, anak akan terbuka menceritakan apapun yang dialaminya.
“Orangtua sebaiknya juga mengenali paedofil di sekitar anak. Waspadai di lingkungan tempat tinggal hingga sekolah anak,” tambah Sri Astuti.
Menurut psikolog Vitria Lazzarini dari Yayasan Pulih, kekerasan seksual bisa menyebabkan anak mengalami trauma psikologis jangka panjang. Bahayanya, anak juga akan berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual pada saat dewasa. Untuk itu, anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus segera diterapi. Orangtua harus lebih peka mengenali ciri-ciri anak yang mengalami kekerasan seksual.
Dari hasil penelitian di beberapa tempat di Indonesia, sebanyak lima sampai 15 persen pelaku adalah pria yang mengalami pelecehan seksual saat masih anak-anak. Contoh nyata : salah satu kasus Andri Sobari alias Emon yang melakukan kekerasan seksual pada ratusan anak di Sukabumi. Emon ternyata sebelumnya adalah korban kekerasan seksual saat masih SMP.
Menjadi korban kekerasan seksual merupakan peristiwa yang sangat membekas bagi anak. Anak akan menunjukkan tanda-tanda telah mengalami kekerasan seksual yang terkadang tidak disadari orangtua.