Lihat ke Halaman Asli

Ibuku Menyimpan Rahasia Menjadi Korban KDRT

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibuku sudah menunjukkan wajah tidak biasanya. Beliau duduk di depan jendela kaca besar sambil melamun. Kaca jendela rumah ruang tengahku  menghadap taman. Tempat ini sangat ideal untuk melamun. Rumahku di perkebunan alas albert  beraroma harum bau bunga kopi yanag sedang mekar.

Hujan deras yang membasahi rumput di halaman menambah sendu wajahnya. Aku pulang sekolah tidak berani langsung mendekatinya.

Rupanya ibuku menyadari kehadiranku dengah suara detak sepatu di lantai rumah perkebunan sinder perkebunanyang sepi. Suara detak sepatu akan mudah terdengar karena disana jauh dari bising suara kendaraan. Hanya ada suara cicit burung dan ayam kukuruyuk yang dipelihara ibuku.

“Bagaimana hari ini di sekolah,” kata ibu. Aku hanya menjawab “ aku tadi upacara bendera ikut membaca teks Pancasila,” oh ya kata ibuku dengan mata berbinar

Aku melihat ada  rona wajah sedih di matanya. Ala lebam biru sedikit dibawah matanya.  “Kenapa ibu, aku bertanya,” . Ibu hanya memandangku sedih dan tidak menjawab apa-apa

Beliau hanya menjawab ayo makan dulu.Setelah itu tidur siang. Nanti setelah makan harus tidur siang supaya tidak dimarahi bapak.

Waktu itu ayah memang selalu menyediakan sabuk pinggangnya untuk diputar-putar diangkasa menakuti anak-anaknya yang tidak mau tidur siang

Entah kenapa pas waktu aku masih  sekolah dasar, anak-anak  di keluargaku wajib selalu tidur siang. Padahal aku membayangkan nikmatnya makan rambutan di atas pohon sepulang sekolah.

Waktu itu sedang musim rambutan,meskipun aku anak perempuan aku pintar memanjat. Sebagai anak perkebunan hampir semua anak perempuan dan laki-laki pintar memanjat. Apalagi  halaman rumahku seluas lima ribu lima meter ditumbuhi pohon rambutan, jeruk, jambu bol darsono yang selalu berbuah tiap musim.

Selesai tidur siang aku pamit kepada ibuku untuk mememetik pakis di kebun kopi. Alangkah senangnya memetik daun sayur pakis yang masih muda dan ujung ekornya masih melengkung. Aku menghamiri kawan-kawan sekolahku untuk bersama-sama memetik sayur pakis di kebun.

Kakiku menginjak rumput-rumput liar di tanahyang lembab dibawah pohon karet.Aku melihat pekerja kebun sedang mengambil getah karet denagn pisau lancip khusus. Aroma bau getah karet sangat menusuk. Mangkok seng penadah getah karet selalu siap menempel di pohonnya tinggal dipindahkan ke tong alumunium kemudian dipikul oleh pekerja ke pabrik pengolahan karet.

Setelah puas memetik pakis aku bergegas pulang. Hari telah hampir sore. Matahari hampir terbenam dibalik gunung. Aku menyerahkan hasil petikan pakisku kepada pembantu setiaku, Mbok Lipah.

Mbok Lipah langsung memasak sayur tumis pakis yang pedas untuk makan malam bersama lauk ikan pindang goreng. Itu masakan favorit keluarga kami di perkebunan.

Ketika makan malam bersama ayahku selalu diiringi  mendengarkan berita radio Australia. Orangtuaku sangat rajin mengikuti berita dunia meski rumahnya tinggal di pelosok perkebunan yang sangat jauh dari Jakarta.

Halaman yang luas di rumah sinder membawaku juga pintar bermain bola.Aku sering bermain bola dengan adikku yang laki-laki dan teman-temannya.  Ayahku sangat mengerti kebutuhan bermain anak-anaknya.

Semua fasilitas olahraga disediakan di halamanku yang luas. Lapangan bulutangkis juga ada sehingga di kala sore hari teman-teman sekolahku datang untuk bermain bulutangkis atau bola.

Ayunan kayu dari gulungan  plastik juga ada di dibawah pohon rambutan yang tua dan rindang. Sambil bermain ayunan aku menengadah mencari-cari buah rambutan yng merah untuk bersiap memanjat pohon.

Setelah besar masuk SMA aku baru menyadari ternyata ibuku selama ini memendam perasaan yang sangat luka. Ayahku ternyata seorang pemukul. Ibuku korban kekerasan rumahatangga. Ibuku menceritakan kepadaku setelah aku masuk SMA. “Aku khawatir anak-anaku tahu perangai ayahnya,” kata ibuku lembut. Tapi selalu tetap setia kepada ayahku dengan alasan kasihan anak-anaknya. Karena ibuku seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja khawatir anaknya tidak bisa sekolah kalau meninggalkan ayah. (Asita Suryanto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline