Oleh : Muhammmad Rayhan Safhara, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
"2023 is gonna be dark and darker", begitulah pernyataan managing director International Monetary Fund (IMF). Setelah melawan dampak pandemi Covid-19, perekonomian dunia dihantui awan gelap berupa inflasi yang disertai pertumbuhan lambat dan pengangguran tinggi (stagflasi). Awan gelap tersebut kian mencekam karena kondisi ketidakpastian pasar keuangan global, serta situasi geopolitik yang terjadi secara bersamaan dengan isu perubahan iklim.
Seorang ekonom top dunia, Nouriel Roubini pada artikelnya yang berjudul "We're Heading for a Stagflationary Crisis Unlike Anything We've Ever Seen", menyampaikan bahwa pada krisis tahun 1970 stagflasi tidak dibarengi dengan krisis utang. Sedangkan pada tahun 2008, krisis utang dunia tidak dibarengi inflasi yang tinggi. Saat ini, dunia akan menghadapi keduanya, yaitu kombinasi stagflasi 1970 dan krisis utang global 2008.
Krisis ekonomi tidak hanya mengancam negara maju, tapi juga negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Dalam merespon kondisi inflasi yang tinggi, Bank Sentral Amerika yang dikenal dengan istilah The Fed akan menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan ini berdampak pada penguatan dollar Amerika karena para investor di negara berkembang akan memindahkan dananya ke negara tersebut. Ketika dollar semakin perkasa, tentu rupiah akan melemah.
Pada beberapa kesempatan, Presiden Indonesia Joko Widodo mengajak masyarakat untuk waspada dalam menghadapi awan gelap perekonomian. Menteri Keuangan Sri Mulyani menerangkan bahwa kondisi geopolitik Amerika dan China sebagai penguasa ekonomi dunia yang disusul perang Rusia Ukraina tidak hanya berdampak pada pasar keuangan, tetapi juga menyasar kebutuhan masyarakat umum, yakni energi hingga pangan.
Menariknya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal pertama tahun 2023 sebesar 5,03 persen. Angka tersebut cukup mengejutkan karena bertolak belakang dengan prediksi para pengamat ekonomi. Di tengah berbagai gejolak, ekonomi Indonesia termasuk yang tumbuh kuat. Lantas mengapa ini terjadi?
Peran Pemerintah
Mengacu pada landasan hukum tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 27, 31, 33, dan 34 yang berisi tentang hak warga negara, patutlah yang memiliki kewajiban untuk menyediakan berbagai hak khususnya ekonomi dan kesejahteraan tersebut adalah pemerintah.
Disamping itu, mengutip buku Pelaku Kegiatan Ekonomi (2019) karya T. Puji Rahayu, pemerintah berperan sebagai pengendali perekonomian (regulator) yang betujuan untuk menciptakan kestabilan ekonomi. Penyusunan regulasi tersebut diantaranya berkaitan dengan kebijakan fiskal, moneter, hingga ekonomi internasional.
Negara membutuhkan intervensi pemerintah untuk menstabilkan kondisi perekonomian yang penuh ketidakpastian. Menanggapi permasalahan yang dihadapi, pemerintah Indonesia merancang sebuah senjata yang berfungsi sebagai shock absorber. Senjata tersebut ialah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dimanfaatkan untuk meredam guncangan ekonomi.
Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi secara negatif konsumsi rumah tangga yang berperan krusial dalam pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga barang dan jasa menyebabkan konsumen memilih untuk menahan belanja. Keberadaan APBN mampu meredam dampak negatif inflasi tersebut melalui alokasi subsidi dan kompensasi yang lebih tinggi.