Lihat ke Halaman Asli

Asip Suryadi

Widyaiswara

Jangan Larang Anak-anak Bermain!

Diperbarui: 11 Januari 2024   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Para orang tua pusing tujuh keliling. Mereka mengeluhkan "Anakku bermain mulu!!!", "Anakku malas belajar!!!", "Anakku ngegame melulu!!!". Para orang tua merasa bahwa mereka gagal mendidik anaknya dan menyerah. Para orang tua kebingungan, mau jadi apa anaknya kelak.

Para ortu yang terhormat, jangan khawatir. Kewajiban anak-anak sampai usia 12 itu bermain. Dalam bermain itulah mereka belajar. Dalam bermain mereka mengalami hal-hal nyata dalam bentuk melakukan, merasakan, membau, mengecap, bertanya, mencari jawaban, menyimpulkan, menginternalisasi (penjiwaan) dan kegiatan belajar lainnya secara fisik, intelektual dan psikis; bahkan melibatkan aspek spiritual. Mereka berlari sampai berkeringat, menangis, marah, berdebat, saling memberi, saling menolong, saling memaafkan, dan saling berbagi pengalaman dan saling berbagi pengetahuan.

Tahun 1900, ada seorang dokter di Italia yang melakukan eksperimen untuk mendidik anak-anak yang kesulitan belajar, namanya Maria Montessori. Ia mendirikan sekolah untuk mendidik anak-anak yang mengalami kesulitan belajar dengan metode yang ia ciptakan. Metodenya dinamakan metode Montessori dan ia berhasil membantu anak-anak tersebut untuk mencapai perkembangannya sama dengan anak-anak biasa. Akhirnya teori Montessori digunakan untuk mendidik anak-anak pada umumnya di seluruh dunia.

Pada metode Montessori, anak-anak harus belajar secara independen (tidak tergantung). Mereka harus belajar sesuai dengan kemauan dan minat mereka sendiri. Di sekolah Montessori guru bertindak sebagai pembimbing, menawarkan bantuan dan dukungan bila diperlukan. Ruang kelas Montessori sering kali bersifat multi-usia sehingga memungkinkan anak-anak dari berbagai usia untuk bekerja sama dan belajar satu sama lain. Hal ini dipandang bermanfaat, karena anak yang lebih besar dapat membantu anak yang lebih kecil dalam melakukan aktivitas dan anak yang lebih kecil dapat berinteraksi dan belajar dari anak yang lebih besar.

Ruang kelas Montessori menyadari pentingnya bermain dan interaksi sosial. Anak-anak diberi waktu untuk terlibat dalam permainan imajinatif dan aktivitas sosial. Ini membantu mendorong perkembangan sosial dan emosional. Kegiatan ini menjadi cara yang efektif untuk memberikan lingkungan belajar yang menstimulasi kemandirian.

Jadi di sekolah Montessori, belajar tidak terlalu formal seperti kelas-kelas di sekolah umum nasional yang kita lihat sekarang. Di sekolah umum kita anak-anak dikelaskan dengan jadwal dan target kurikulum yang ketat. Anak-anak duduk di kursi pada meja masing-masing yang seragam menghadap pada meja guru, disuruh mendengarkan atau melakukan kegiatan belajar yang sesuai dengan keinginan guru dan diakhiri dengan ujian.

Menurut saya, dengan mempertimbangkan metode Montessori, sekolah formal seperti yang kita banyak saksikan sekarang adalah penjara bagi anak-anak. Mereka harus masuk kelas yang dibatasi dengan 4 dinding berjam-jam, harus menghadap semua ke arah guru, mengikuti instruksi yang disampaikan guru, membaca buku paket, menghafal fakta-fakta, mengerjakan tugas dan diakhiri dengan ujian. 

Mereka tidak diberi keleluasaan untuk melakukan kegiatan yang mereka senangi dan minati. Mereka diarahkan hanya untuk menjawab soal-soal yang akan diberikan pada ujian. Yang lebih parah lagi, hasilnya hanya sekedar angka dalam raport. Sedangkan mereka ingin melakukan sesuatu yang mengasyikkan. Mereka ingin bermain.

Makanya dalam Kurikulum Merdeka, konsep pembelajaran yang diusung adalah PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI dan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Pada pembelajaran berdiferensiasi, guru menyajikan pembelajaran pada tingkat yang berbeda-beda dan sesuai dengan minat dan bakat para murid. Pada P5 para murid disuguhi kegiatan bertema dalam bentuk projek yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Dalam dua bentuk pembelajaran ini para murid diharapkan dapat melakukan interaski dan bermain peran sebagai dirinya dan sebagai anggota masyarakat. Mereka diberi kesempatan untuk lebih banyak bermain dari pada belajar tatap muka yang membosankan.

Jadi mengapa mereka bermain melulu? Karena bermain memang watak mereka. Bagi anak-anak sampai umur 12, bermain adalah kewajiban. Ketika mereka di kelas, mereka dilarang bermain, dan gurunya tidak menyajikan materi ajar dalam permainan, maka wajar mereka ingin segera pulang ke rumah untuk bermain. Yang menyedihkan, datang ke rumah juga dilarang bermain. Betapa menderita mereka.

Implikasinya kepada dua pihak. Bagi guru, sajikanlah pembelajaran dengan permainan. Rancanglah pembelajaran dengan tujuan yang jelas dan sajikan dalam kegiatan yang disukai anak-anak seperti observasi, eksperimen, simulasi, bermain peran dan sejenisnya. Bagi orang tua, berikan waktu kepada mereka untuk bermain namun harus disiplin waktu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline