Lihat ke Halaman Asli

Asip Suryadi

Widyaiswara

Semua Anak Lahir Keren-Butuh Dukungan untuk Menjadi Juara

Diperbarui: 25 Desember 2023   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Banyak guru dan orang tua mengatakan "Anak sekarang makin malas belajar". Saya jadi sedih mendengarnya. Bagaimana masa depan bangsa ini kalau anak-anak malas belajar.

Sebenarnya saya ragu, apa iya anak-anak sekarang malas belajar? Jangan-jangan guru dan orang tua underestimate kepada anak-anak. Atau guru dan orang tua memiliki pengertian yang keliru mengenai belajar.

Menurut saya, guru dan orang tua tidak perlu memiliki persepsi dan keyakinan bahwa anak sekarang lebih malas belajar dari pada anak-anak dulu. Persepsi dan keyakinan tersebut dapat menimbulkan hubungan emosional buruk antara guru/orang tua dengan anak-anak. Guru dan orang tua menjadi underestimate (merendahkan) anak-anak.

Kerap guru dan orang tua membandingkan dirinya dengan anak-anak sekarang dan menggambarkan bahwa orang tua dan guru lebih rajin dan lebih cerdas dari anak-anak sekarang. Coba bayangkan apa yang mereka pikirkan ketika mereka mendengar ocehan guru dan orang tua seperti itu. Jangan-jangan mereka merasa direndahkan. Secara psikologis, tak ada orang yang mau direndahkan, termasuk anak-anak. Setiap orang akan melawan ketika direndahkan. Pengalaman saya menjadi guru selama 10 tahun, perlawanan anak-anak diekspresikan dalam bentuk perilaku, bukan kata-kata atau perbuatan, dan perlawanan lebih banyak berbentuk negatif. Bisa jadi mencibir di belakang, bergosip dengan teman-temannya, dan bisa jadi dendam. Anak-anak juga bisa sakit hati dan mutung mengatakan "Ya udah, gak usah belajar."

Banyak lagi kata-kata dan perilaku guru dan orang tua yang sebenarnya tidak perlu diungkapkan kepada anak-anak agar anak-anak tidak menyalahkan diri sendiri dan mutung. Orang tua dan guru perlu menahan diri untuk tidak banyak berbicara yang melecehkan anak-anak. Mereke lahir bukan untuk dikata-katai dan dilecehkan. Mereka lahir untuk dibesar-besarkan agar percaya diri dan bangkit terus-menerus.

Ojo dibanding-bandingke. Semua generasi memiliki tantangan belajar sendiri. Saya generasi X, tantang belajar saya gak ada buku, gak ada listrik, sulit sekali akses ilmu pengetahuan. Anak sekarang, generasi Z dan generasi Alpha, tantangannya lebih sulit. Akses terhadap informasi dan ilmu pengetahuan sangat mudah, namun tantangannya lebih berat. Mereka harus melawan serbuan konten teknologi digital yang sangat menggoda, melawan arus informasi global yang menyesatkan, melawan godaan narkoba dan godaan lainnya yang sebelumnya tidak ada. Godaan-godaan tersebut sangat gencar namun kasat mata dan (toksik). Orang tua dan guru sering tak sadar dan lambat mengantisipasi sehingga tiba-tiba anak-anak terjangkit perilaku frustasi, depresi, beringas, radikal, kecanduan game, kecanduan narkoba, obesitas dan sebagainya.

Untuk tidak melanjutkan hal buruk tersebut mari kita mengubah persepsi kita dengan cara memahami beberapa hal. Pertama kita tidak boleh menyamaratakan bahwa semua anak sekarang malas belajar. Setiap anak memiliki keunikan dan kecenderungan yang berbeda-beda. Ki Hajar Dewantara mengatakan setiap anak memiliki kodratnya sendiri. Selain itu anak-anak dipengaruhi oleh kodrat alam dan kodrat zaman. Beberapa faktor dapat mempengaruhi perilaku belajar anak diantaranya faktor individu (genetik), lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan teman sebaya. Lingkungan keluarga sangat menentukan. Oleh karena itu ciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar di rumah. Setelah itu lingkungan sekolah/madrasah. Ciptakan lingkungan sekolah/madrasah yang akademis, nyaman, aman, bersih dan ramah anak. Berikutnya, kontrollah anak-anak kita dengan siapa mereka bergaul.

Kedua, beberapa anak mungkin mengalami kesulitan belajar karena berbagai alasan, seperti kurangnya minat terhadap mata pelajaran tertentu, metode pengajaran yang tidak sesuai, atau masalah pribadi dengan guru dan teman-teman di kelas yang mempengaruhi konsentrasi mereka. Berdasarkan pengalaman saya, ditemukan beberapa anak yang malas pergi ke sekolah gara-gara tidak mau bertemu dengan gurunya, atau tidak mau bertemu dengan teman-temannya. Bullying adalah salah satu yang harus diantisipasi oleh semua pihak. Dulu bullying terjadi pada momen pertemuan fisik. Sekarang bullying terjadi di dunia maya.

Ketiga, penting untuk memahami bahwa setiap anak unik sehingga pendekatan yang efektif untuk mengajak mereka belajar berbeda-beda. Komunikasi terbuka antara orang tua, guru, dan anak dapat membantu mengidentifikasi masalah dan menemukan solusi yang sesuai. Guru dan orang tua harus menjadi sosok teladan. Kata Ki Hajar Dewantara juga yang sangat masyhur: ing ngarso sung tuldo - ing madio mangun karso - tutwuri handayani. Pesan utamanya adalah memberikan dukungan emosional dan menampilkan contoh positif adalah sumber energi untuk memacu belajar.

Dengan begitu, mari kita menganggap anak-anak kita semuanya keren. Mereka membutuhkan dukungan spiritual, emosional, dan keteladanan untuk menjadi juara dalam kehidupan. Karena mereka unik, butuh upaya keras dan proses yang berbeda-beda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline