Lihat ke Halaman Asli

Chairunnisa Ilmi

An Ambivert

Banjir dan Kekayaan Rasa Manusia Sunda

Diperbarui: 30 September 2020   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung Cupu Mandala-hayu, 

Mandala Kasawiatan, 

di Hulu Dayeuh, 

dina cai nu teu inumeun, 

dina areuy nu teu tilaseun, 

dina jalan teu sorangeun, 

sakitu kasaramunan..

           Manusia dan lingkungannya adalah sebuah hubungan integral yang tidak dapat dipisahkan. Mengingat mata pencaharian manusia Sunda sebagai petani yang tidak jauh dari aktivitas huma, berkebun, sawah, dan macam-macam agrotekhnologi lainnya. Manusia Sunda memperlakukan alam atau lingkungannya sebagai mitra dalam hal manunggaling kanu Kawasa, ini artinya manusia Sunda yang merupakan etnis yang kental didominasi oleh aspek rasa telah menjadikan alam yang sama-sama ciptaan Tuhan sebagai mitra yang dapat membawanya pada tujuan utama yakni Kebagjaan Jatiniskala. Hal ini juga dikaitkan dengan perlakuan manusia Sunda yang selalu mengaitkan alam dengan kekuatan-kekuatan transendental seperti kekuatan adikodrati yang diyakini sebagai pemilik alam itu. Tujuannya agar alam diperlakukan dengan baik.

          Hubungan erat manusia Sunda dan alam ini terdokumentasi dengan baik pada ungkapan, guguritan, ataupun pupuh dari Sunda. Contohnya pada ungkapan indung rahayu, bali geusan ngajadi. Atau pada penyakralan tanaman padi sebagai pangan utama dengan diangkatnya dewi khusus yakni Dewi Sri atau Nyi Pohaci sebagai dewi padi, pun sebuah konsep yang menjadi dasar kesenian Tarawangsa dari Sumedang.

Ilustrasi Dewi Sri/Nyi Pohaci

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline