Aku melangkahkan kakiku yang beralas sandal dengan menatap awan putih ke abu-abuan yang menutup matahari di bawah pohon alpukat yang belum siap untuk dipanen. Aku menikmati udara pegunungan yang segar dengan dikelilingi oleh kebun teh. Tak lama aku teringat oleh ucapan kakekku yang membuatku ingin mencari tahu lebih tentang semua pahlawan di Indonesia pada saat masa penjajahan Belanda. "Nak, kamu mewariskan jiwa seorang pejuang di masa lampau.". Kalimat yang diucapkan oleh kakekku terus terngiang -- ngiang di pikiranku. "Sebenarnya aku ini siapa?", kata ku.
Rasa kantuk yang tidak tertahanpun mengalahkanku dan akupun tidur terlelap dengan pertanyaan -- pertanyaan yang tak terjawab. Tiba-tiba aku terbangun di suatu hutan rimba yang dipenuhi oleh semak belukar dengan sepasang tombak dan pedang disampingku. "dimana aku? Kenapa ada tombak disampingku ?". Lalu aku terbangun dan sadar bahwa itu hanyalah sebuah mimpi yang mungkin akan menjadi jawaban dari pertanyaan yang ada di benakku ini. Aku pulang ke rumah karena matahari sudah hampir mulai terbenam dan mulai sudah mulai hampir muncul.
Sesampainya dirumah, aku bertanya kepada kakekku tentang mimpi yang telah kualami. Kakekku pun hanya tertawa dan tidak memberi respon atau tanggapan terhadap mimpiku tersebut. "Kamu akan sadar pada waktunya, nak.". Haripun sudah larut malam, rasa kantukpun mulai menyerang dan alhasil rasa kantuk itu berhasil memenangkannya. Aku tertidur nyenyak sekali sampai aku terbawa mimpi. Mimpi......... Bukan mimpi......... Mimpi......... Bukan mimpi......... suara itu terdengar seperti kakekku yang seolah-olah ingin memberi tahu aku tentang mimpi yang kualami siang tadi.
Tiba-tiba aku terbangun di malam hari sedang bersembunyi didalam gua dengan beberapa orang memegang sebuah pedang dan tombak. Mereka berbicara satu sama lain dengan bahasa Jawa. Lalu ada seorang yang memanggilku dengan nama Raden dan berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa. Memori demi memori di masa itu mulai terkumpul dan menjadi satu rangkaian cerita yang mustahil terjadi pada manusia dan menurutku ini hanya terjadi padaku. Aku menyadari bahwa aku adalah seorang Pangeran yang menetap di daerah Yogyakarta yang terkenal dengan taktiknya dalam Perang Jawa.
Aku adalah seorang Pangeran Diponegoro. "Den, jadi bagaimana dengan rencana penyerangan kita terhadap Belanda ?". Aku mendengar pertanyaan itu seolah-olah seperti jiwaku berada disana dan aku merasakan suasana yang begitu mencekam. Aku pun menjawab dengan lantang dan berkata, "Kita akan melakukan rencana penyerangan pada besok malam, kita akan menggunakan taktik gerilya. Suasana disini sedang sangat mendukung yaitu musim hujan dimana wabah penyakit dapat menyerang serdadu-serdadu Belanda. Kita mendapatkan keuntungan yang sangat besar di hutan yang sudah seperti tempat bermain kita sejak kita masih kecil.
Kita manfaatkan kekuatan alam yang diberikan Tuhan sepenuhnya karena ini merupakan perang jihad antara pasukan Belanda dan orang Jawa yang murtad. Belanda sudah meracuni pikiran orang kita dan sudah menghina budaya islam. Respon kita haruslah berani dalam menanggapi masalah ini.". Semuanya yang berada di ruangan tersebut bersorak-sorak seolah sudah memenangi perang. Kringggg...... kringggggggg......... alarm yang menyebalkan membuat aku terkejut dan tak sadar bahwa hari sudah menunjukan pukul setengah 7 pagi dan aku akan telat untuk pergi ke sekolah.
Pertanyaan demi pertanyaan kusimpan dalam pikiranku dengan jawaban yang tidak tahu kepastiannya ada atau tidak. Jam sekolahpun berbunyi pada pukul 7. Pikiranku saat itu tercampur aduk. Bingung, tidak pasti, bimbang, ragu menjadi bekal makan siangku. Bel pulang sekolahpun berbunyi dan menunjukan sudah pukul 3 sore. Aku berjalan pulang dengan teman-temanku dan mereka bercerita bahwa seorang jaman dulu dapat bertapa menambah ilmunya agar bisa bereinkarnasi menjadi seseorang di abad ke 21 yaitu sekarang ini. Aku terkejut dan tertarik untuk mendengar cerita teman saya.
"Emang bisa seorang dari jaman dulu bisa bereinkarnasi menjadi seorang yang baru?", kataku. "Tentu saja bisa, dengan cara bertapa di goa sendiri selama 1 tahun dan goa tersebut harus di dalam air terjun di lokasi hutan rimba di sekitar Yogyakarta, konon ada seorang pangeran yang menghilang selama setahun untuk meraih ilmu reinkarnasi ini.". Setelah aku mendengar itu, aku seperti yakin bahwa aku adalah reinkarnasi dari Pangeran Diponegoro. Aku menyimpan semuanya di dalam hati dan pikiranku. Keringatku seketika menjadi dingin dan mulai berjatuhan secara perlahan.
Malampun tiba dan aku sudah merasakan rasa kantuk yang benar -- benar berat.Akhirnya aku pun tertidur pulas dan mimpi itu datang lagi. Aku terbangun di semak -- semak didepan sebuah benteng pasukan Belanda. Didepanku sudah ada beberapa pasukan Belanda yang berjaga-jaga didepan pintu gerbang benteng mereka. Malam hari datang bersama dengan kabut yang tebal. Kabut tersebut menjadi keuntungan kami karena kami bisa memulai penyerangan tersebut secara diam-diam.
Akupun menggunakan bahasa tanganku untuk membagi pasukan menjadi 3. Grup 1 akan pergi ke daerah Timur benteng, Grup 2 akan pergi ke daerah Barat benteng, dan Grup 3 akan berjaga -- jaga disini jika ada pasukan lain datang mereka akan langsung menyerang mereka. Rencana penyerangan pun dimulai. Aku mengeluarkan pisauku dan menusuk satu persatu pasukan Belanda dari belakang. Daerah Timur dan daerah Barat sudah kami kuasaia sehingga tidak ada yang berjaga di gerbang itu. Sehingga benteng itu terkepung oleh pasukan kami.
Akupun berteriak dengan suara yang sangat menggelegar, "Serang!!!!!!!!". Semuanya pun mengeluarkan tombak dan pedang mereka dan melakukan penyerangan terhadap Belanda. Beberapa dari kami ada yang tertembak salah satunya adalah Panglima Jenderal Pasukan Diponegoro yang sering dipelajari pada pelajaran sejarah adalah Alibasyah Sentot. Dia langsung dibawa pulang ke markas karena luka tembak yang berada di pundak kanannya. Kamipun berhasil mengambil alih benteng tersebut dengan mengalahkan Jenderal De Kock. Tiba-tiba kakekku membangunkan aku karena hari sudah menunjukan pukul setengah 7 dan ternyata alarmku tidak berbunyi.