Lihat ke Halaman Asli

Cinta Sesempurna Bohlam Lampu (1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku berlalu tanpa menatapnya sedikit pun. Ya Tuhan, Ya Allah, tolong aku, aku sudah ber-suami. Jangan godai hatiku laki dengan laki-laki itu. Ujung mataku terlanjur menangkap dirinya yang mengenakan hem batik khas Pekalongan berwarna cokelat, hingga kemana pun pandangan mataku mengahindar dari gambar dirinya, tetap saja laki-laki berbatik cokelat itu terasa sekelebat di sekitarku. Aku lalu menggandeng tangan suamiku erat-erat begitu aku merasakan laki-laki berbatik cokelat itu sedang berjalan mendekat ke arah kami. Suamiku menyadarinya, "Tenang saja..." katanya memegang tanganku, menenangkanku. Lalu kulihat suamiku tersenyum ke arah laki-laki itu. "Assalamu'alaikum." laki-laki itu akhirnya berucap. Hancur hatiku. aku tak tahan lagi, aku tak kuat jika harus mendengar suaranya lagi. aku benci jika harus bertatapan dengannya. "Aku ke kamar mandi ya Mas..." ujarku sambil benar-benar pergi menuju arah kamar mandi, meski sebenarnya aku belum tau di mana kamar mandi di hotel sederhana ini. Sungguh, pertahananku jebol. Aku mengerutkan wajahku berusaha menahan, tapi hatiku terlalu sakit untuk mengenangnya, laki-laki itu bernama Dwi. *** "Kamu nggak pingin tau apa yang Mas bicarakan sama Dwi tadi?" ujar suamiku begitu kami sampai di rumah Bule'. Aku memang menampakkan wajah murung sedari tadi. Aku sudah punya firasat, dan ngotot tidak mau berangkat ke acara reuni teman-teman Tehnik Sipil UNY angkatan 2000. Tapi Mas Danu memaksaku. Silaturrahim, katanya. Pertanyaan itu keluar dari mutunya tanpa beban. Aku tau, suamiku ini memang orang yang sangat bijaksana, dewasa, tenang. Tidak seperti aku. Dan aku tahu inilah benar-benar jodoh dari Tuhan, dari Allah. bagaimana bisa dia berbicara dengan ramah dengan orang yang pernah mengisi penuh hatiku. Apa yang dibicarakannya dengan Dwi? Aku ingin tau Mas, tapi aku malu kepadamu. "Mas tadi minta maaf..." Aku masih diam tak menjawab, tapi cukup kaget dan penasaran dengan apa yang barusan Mas Danu katakan. Minta maaf? Tapi lagi-lagi, mengingat Dwi masih menyisakan airmata yang belum juga kering. " Aku minta maaf karena sudah mengambilmu darinya." lanjutnya. Aku melepas kerudungku dengan pipi yang sudah basah, membelakangi Mas Danu. Aku tidak ingin dia melihatku menangis. " Aku bilang, aku tidak bisa melihatmu terpuruk terus menerus. Lalu dia memelukku Yu', dia bilang 'sampaikan maaf-ku padanya'...." Aku tak kuat. Aku tak tahan lagi. jariku tertusuk peniti, tapi tak terasa sakit lagi, karena sakitnya hatiku jauh lebih perih. " Selesai berpelukan, aku menceritakan bahwa kau sedang hamil 3 bulan. kemudian dia memberikan selamat dan mendoakan kita.." Mas Danu bisa memahami sakitnya hatiku, dia menarikku dan kemudian memelukku. Aku habis-habisan menangis di pundaknya. Dia lalu minta maaf jika cerita tadi membuatku sedih, tapi dia terus memotivasi agar aku dapat segera melupakan laki-laki itu. Jika aku sudah melupakannya, maka se-ingat apapun aku tentang Dwi, maka rasa sakit itu tidak ada lagi. Tapi rasanya ini sulit bagiku. *** Perkenalan pertama kami biasa saja. Aku bertemu dengannya di Masjid. Aku mau pengajian, dan dia baru selesai sholat Dhuha, sepertinya. Aku hafal betul, laki-laki tinggi, hitam, ber-rambut ikal itu teman sekelasku di TS'00. Tanpa pikir panjang kusapa dia dengan lagak sok kenal sok dekat-ku yang biasanya. Dia dengan cool-nya, membenarkan bahwa dia juga mahasiswa baru TS'00. aku mengulurkan tanganku mengajaknya salaman, tapi kemudian die menelungkupkan tangan. Aku sedikit malu, tapi berlagak bisa saja, saudaraku yang mahasswa aktivis juga ada yang tidak mau salaman, mungkin laki-laki salah satu di antara mereka. Dwi Jayanto. Asalnya dari Mataram. Ayahnya orang Jawa, Ibunya asli Mataram. Di kelas, kami nyambung jika bicara. Dari pertemanan yang kaku - karena dia orang yang cukup tertutup dan diam - kami menjadi akrab karena minat yang sama, sepak bola. Kami jadi sering satu kelompok belajar, makan bersama (dengan teman-teman yang lain juga) dan pergi-pergi bersama. Suatu saat aku jatuh pingsan, tugas kami menumpuk, aku tak makan 2 hari dan kelelahan. Begitu bangun sudah ada di rumah sakit. Di kursi sebelah tempat tidurku, tertidur seorang laki-laki yang kukenal dekat, Dwi. Aku memeriksa kepalaku, Alhamdulillah, jilbabku terpasang di sana. Begitu Dwi bangun, aku bertanya padanya bagaimana aku bisa sampai kamar itu. Ternyata aku kena typus dan harus rawat inap. Ini hari pertamaku menginap. Lalu aku menanyakan teman-teman perempuanku, bagaimana bisa bukan mereka yang menjagaku saat ini, bagaimana bisa Dwi yang menjagaku di sini, kami hanya berdua di ruangan itu. ternyata baru saja Bulik-ku datang membawa persiapan untuk menginap menjagaku, tapi karena itu Sabtu sore, maka beliau harus ke Gereja dulu. jadi sementara ini Dwi yang menjagaku. Makan malam sudah datang, dan Bulik-ku belum juga tiba dari Gereja. Dwi, selesai sholat Maghrib di ruanganku, lalu dia memaksa menyuapiku, aku tidak boleh terlambat makan, katanya. aku tidak ingin menceritakan bagaimana terjadinya, kala oitu obrolan kami mengalir begitu saja. Dia menyayangiku, dan ingin menjagaku. Dia tidak pernah memintaku jadi pacarnya, dia memakai bahasa yang sangat sopan, 'menjaga'.  "Kita saling menjaga ya?" katanya. Sejak saat itu, teman-teman mengenal kami sebagai pasangan kekasih. Sampai tahun kelima, kami pun wisuda bersama. Beberapa kali dia pernah ke rumahku, kukenalkan pada Bapak Ibu dan kakak-kakakku. Aku baru bertemu dengan keluarganya ketika wisuda. Ibu sangat mengharapkan kami segera menikah, tidak apa-apa meski Dwi belum mendapat pekerjaan tetap. Umurku sudah 25 tahun dan sudah saatnya menikah. Aku mencoba bicarakan ini padanya, dia menjadi murung. Dia tak ingin menikah sebelum mampu menafkahiku. Kemudian dia berjanji akan segera meminangku jika sudah punya pekerjaan tetap. Selepas wisuda, kami sangat sedih. kami harus berhubungan jarak jauh. Waktu itu belum ada handphone. kami berhubungan lewat surat dan telpon. di rumahnya tidak ada telpon, jadi jika mau berjumpa lewat suara, aku harus menelpon tetangganya. sebulan, dua bulan, enam bulan, kami rutin berkirim surat. Aku telah menadapat pekerjaan di sini. Dia juga telah menjadi guru, tapi honorer. Aku menagih janjinya untuk segera menjemputku, aku manut jika harus tinggal di Mataram. Tapi dia mengelak. Gaji guru honorer masih sangat kecil, itu alasannya. Sampai setahun berlalu, hubungan kami terjaga lewat berlembar-lembar kertas. ada rindu, cinta, tentang masa depan, ada janji-janji yang kami bikin bersama... pada tahun kedua, pada bulan yang sama di bulan kami wisuda setahun yang lalu - suratnya darinya tak kunjung datang. biasanya setiap bulan kami saling berbalas surat. Bulan berikutnya, bulan berikutnya lagi, nihil. tak satu pun surat datang. Aku berkali-kali mengiriminya surat, tapi tak ada balasan. Aku berusaha menghubunginya lewat telpon, tapi tetangganya bilang, dia tidak ada di rumah. Pagi, siang malam, alasannya sama, tak ada di rumah. Sudah 8 bulan, aku jatuh sakit. tak secuil pun kabar dari Dwi. tapi aku masih bersabar, yang membuatku bertahan adalan janji-janjinya, kehidupan di masa depan yang kami rangkai bersama. Aku terus memikirkannya, menahan rindu, sedih akan hilangnya dirinya tanpa kabar. Aku sudah minta tolong pada sahabat-sahabat kami dulu di UNY, tapi mereka pun tak bisa menghubungi Dwi. Sampai suatu saat, ada kabar Om-ku di Malang menderita sakit ginjal dan rawat inap beberapa kali. Ibu memahami kesedihanku, Ibu juga tak tahan melihat kesedifahku beralurt-larut, aku begitu kurus saat itu, sakit-sakitan, tidak nafsu makan, bahkan sepak bola yang biasanya tidak kulewatkan pun, tidak kugubris. Ibu menyuruhku pergi ke Malang, menengok Om yang sudah dua pekan ini di Rumah Sakit. Aku yang sudah tak lagi bergairah, menurut saja pada Ibuku. Berharap, sepulangnya aku dari Malang, ada kabar dari Dwi. Aku hanya 2 hari di Malang, Om ternyata sudah pulang, dari berencana segera ke Jogja - mengunjungi makam Mbah Kakung. Tak ada yang bisa menolak permintaannya, Om, Tante, Aku dan seorang supir pun berangkat ke Jogja 2 hari kemudian. Supir itu. Supir itulah Mas Danu. Ternyata dia bukan supir sungguhan. Dia pegawai Koperasi, outsourcing di tempat Om-ku bekerja. Mas Danu adalah tetangga dekat Bulik Sri di Jogja. Mas Danu sudah 3 tahun ikut tinggal di rumah Om sambil bekerja di kantor yang sama dengan Om. Sepulang dari Malang dan Jogja, surat yang kutunggu tak kunjung datang. ibu mulai menyarankan agar aku melupakan Dwi. Tidak.Tidak bisa Bu. Dwi sudah terlalu penuh mengisi hatiku, Bu. Usiaku sudah 26 tahun, Ibu tak ingin aku semakin terlambat menikah. Tidak, tidak bisa Bu. Maafkan aku.. Aku memilih menunggu Dwi. Sebulan kemudian, seorang tamu yang tak terduga datang ke Bandung. Dia-lah Mas Danu. Ibu yang baru kenal saat itu, menyambut kedatangannya dengan ceria. Ibu sudah mempunyai angan-angan bahwa laki-laki itu menyukaiku. Dan benar saja, kedatangan pertamanya sudah membuat seisi rumah gempar. Dia datang memintaku jadi istrinya. rupanya, pertemuan kami di Malang dan Jogja yanghanya seminggu itu membuat hatinya terpikat padaku. Dia sudah minta izin pada Om untuk mendekatiku, Om dan Tante mengijinkan sambil menceritakan kisah piluku. Ibu memang cerita pada Om dan Tante sejak Dwi tak pernah lagi memberi kabar. hampir 3 bulan aku berpikir - sakit, semakin kurus, depresi. itulah yang kualami. Aku tidak ingin menikah kecuali dengan Dwi. Tapi aku pun tak bisa menghubungi Dwi. Aku sempat nekat mau ke Mataran menghampirinya. Tapi Bapak Ibu, dengan keras melarangku. PAda akhirnya, aku sampai pada ujung penantianku. Aku memutuskan menerima pinangan Mas Danu, laki-laki yang baru kukenal. Sebelum pernikahan, aku sudah bilang padanya, bahwa kondisiku seperti ini, depresi karena ditinggal kekasih tanpa kabar. Dia dengan sepenuh hati mau menerimaku apa adanya. Dan jadilah kami, 2 Oktober 2008, kami melangsungkan akad nikah. Atas usul Ibuku, tak secuil pun aku berbagi berita pada Dwi bahwa aku sudah menikah kini. Mas Danu begitu pengertian padaku. Pernikahan kamis sudah setengah tahun. Saat itu aku sudah hamil 2 bulan. Suatu saat Bulik menelponku. ada kabar yang menggemparkan keluargaku di Bandung, Jogja dan Malang (kini aku berdomisili di Malang, mengikuti Mas Danu). Dwi telpon. Dwi telpon Ibu ke Bandung. Sebelumnya sebuah surat datang. Tapi Ibu sudah terlalu keras hatinya jika berkenaan dengan Dwi. Ibu tak menyampaikan surat itu padaku. Telpon dari Dwi pun dijawab dengan ketus oleh Ibuku. Akhirnya, Dwi telpon Bulik di Jogja. Bulik lah kemudian yang menceritakan bahwa aku sudah menikah. Katanya, Dwi menangis. Ketika ditanya, kenapa dia menghilang. Alasan pertama adalah (lagi-lagi) belum punya pekerjaan tetap, kedua-Ibunya tidak setuju hubungan kami. Ibunya pikir aku orang Sunda, di mata Ibunya, orang Sunda itu materialistis. Dia berada pada persimpangan jalan, patuh pada Ibunya, atau memperjuangkan cintanya padaku. Di tengah kebingungan itu, dia tak memberi kabar barang secuil. Dia sekaligus ingin mengabarkan bahwa Ibunya sakit-sakitan, pada akhirnya Ibunya mengijinkan Dwi melanjutkan hubungan denganku. Tapi sayang, sudah terlambat. Dan kini, aku meminta suamiku untuk menemaniku membakar semua hal tentang Dwi. Surat-suratnya, fotonya, barang-barang darinya. pertemuan dengannya di acara reuni kemarin membuat aku sadar dan terbangun, aku harus bangkit. Aku telah mengandung anak Mas Danu. Dwi adalah masa lalu. dengan linangan airmata, di teras rumah Mas Danu di Kalasan, Mas Danu menyalakan korek dan membakar barang-barang itu. Malang, 2 Oktober 2010. terinspirasi dari kisah nyata sepupuku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline