Lihat ke Halaman Asli

[ECR#4] Pada Daun Yang Bergoyang

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13417598351608544895

Sejak pertemuan dengan Firman di rumah ayahnya, Acik mulai uring-uringan. Setiap saat dia mengirim sms menanyakan  banyak hal tentang Firman. Asih membalas pesan adiknya meski batinnya tertekan karena perasaan yang semakin hari semakin dalam pada Firman.

“Mbak Asih ada kabar baru!” Acik muncul di ruangan sekretaris desa dengan nafas tak beraturan. Dia berdiri memegang gerendel pintu sementara Asih menghentikan kegiatan menulis, menunggu kelanjutan ucapan Acik.

“Kamu kenapa, Cik? Ada kabar apa?”

Acik mendekat lalu duduk lunglai di kursi depan meja Asih.

“Ternyata mas Firman kembali ke desa bukan karena aku, mbak.” Wajah Acik memerah dan matanya mulai basah. Asih tertegun, jantungnya berdebar kencang. Rasa penasaran membuatnya tak mampu berbicara. Dia takut jika benar Firman tertarik pada orang lain dan bukan dirinya. Padahal beberapa hari ini dia terus meyakinkan dirinya agar siap kehilangan Firman untuk yang kedua kalinya setelah dulu dia melepaskan dengan rela, adiknya Acik menikah dengan Firman. Mungkinkah kejadian itu akan terulang kembali? Luka lama akankah terkoyak kembali?

“Da..dari mana kamu dapat kabar itu, Cik?” terbata Asih berusaha menenangkan diri.

“Itu bukan kabar lagi, mbak. Tapi sekampung sudah tahu semua, kalau semalam mas Firman berkunjung ke rumah  Mahar. Benarkan ucapanku tempo hari mbak, mas Firman datang bukan untuk kembali bersamaku, dia ingin bersama orang lain.” Acik mengusap matanya yang basah. Sementara Asih menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.

Ada perasaan terluka yang hadir membentuk bulir-bulir air mata namun hanya mengalir di sudut hatinya. Semalam dia menanti kehadiran Firman namun tak kunjung datang. Bukan salah Firman jika tak hadir sesuai keinginan Asih. Sms yang terkirim untuk Firman, hingga malam tak juga mendapat balasan. Seharusnya Asih tak menaruh harapan dengan menyiapkan hidangan dan roti yang sengaja dibeli di toko roti milik Mahar.

Apakah benar mas Firman seperti itu? Bukan kebiasaannya berkunjung ke rumah seorang perempuan yang baru dikenalnya?

Asih membantin terlupa dengan wajah sendu didepannya yang terus menyesali kabar yang mengguncang perasaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline