Lihat ke Halaman Asli

Bahagia

Diperbarui: 29 Maret 2016   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menatap pada tetesan darah yang mengalir satu demi satu ke lengan kemeja yang kukenakan. Tak kurasakan nyeri yang harusnya teramat menyakitkan dari kepalaku akibat benturan itu. Yang ada dimataku hanya merah, merah darah.

Lalu kulihat semua orang berlarian menujuku. Beberapa diantara mereka antara takut dan tidak berusaha membantuku untuk berdiri, tapi aku tahu aku tak akan bisa berdiri. Apakah kakiku juga patah? Entahlah, hanya kudengar beberapa dari mereka berteriak begitu, bahwa aku tak mungkin bisa berdiri. Lalu seorang ibu-ibu mengeluarkan saputangannya dan membalut kepalaku yang sepertinya terluka. Seorang bapak sibuk menelpon, entah siapa yang ia telpon, sambil berkali-kali menatap cemas padaku

 Lalu seorang perempuan meneriakkan sesuatu kalau tak akan sempat jika harus menunggu. Perempuan itu lantas berlari ke tengah jalan dan mencegat apapun kendaraan yang lewat. Kemudian bapak yang tadi menelpon dan beberapa orang lainnya membopongku ke sebuah kendaraan. Perempuan yang tadi berlari ketengah jalan sudah ada di dalam mobil itu. Bapak yang menelpon dan ibu yang membalut kepalaku dengan sapu tangan juga ikut naik. Bapak yang menelpon berbicara dengan pemilik mobil, dan sepertinya pemilik mobil itu langsung tanggap. Kulihat dari kaca spion, wajahnya tampak serius mengemudi.

Aku, masih diam. Tak ada rasa apapun yang kurasakan di tubuhku.

Begitu sampai, di rumah sakit, aku langsung dibawa ke UGD. Seorang dokter laki-laki setengah baya langsung sigap menanganiku. Aku menatap padanya, dan pada suatu waktu ketika pandangan kami bertemu, ia tertegun. Seolah mengatakan, “Anak ini... apa dia benar-benar tidak apa-apa?” Lalu ia kembali fokus membersihkan bagian tubuhku yang tampak “berantakan” di mata seorang dokter. Aku tahu aku tidak dibius, tapi aku masih tidak merasakan sakit sama sekali.

Hingga akhirnya dokter itu selesai merawatku, ia menatapku sesaat.

“Apakah saya boleh menyuntikkan obat tidur ke tubuhmu? Kamu harus istirahat,” kata dokter itu. Ada yang lain dari pandangannya, entah apa itu. Aku tak mengangguk dan menggeleng, tapi dokter itu tetap menyuntikku dengan obat tidur.

“Kamu akan baik-baik saja. Tolong, beristirahatlah,” pintanya kemudian, yang hanya kudengar sayup-sayup. Mungkin karena obat tidur itu telah bekerja di tubuhku, dan aku pun tertidur beberapa detik kemudian.

Aku bermimpi.

Aku duduk di sebuah ruang kosong, tanpa meja atau kursi, tapi didepanku ada sebuah kertas putih. Tidak ada pena disekitarku, dan aku pun bingung menatap kertas putih itu disana. Untuk apa? Bukankah sebuah kertas itu ada untuk ditulisi sesuatu? Hakikat selembar kertas, seperti itu aku menyebutnya. Aku kembali meletakkan kertas itu didepanku. Lalu kulihat sebuah sketsa muncul perlahan di kertas itu. Sebuah wajah.

Wajah siapa dia? Aku tak mengenalnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline