Lihat ke Halaman Asli

Asif Isnan

guru honorer biasa

Ia Guru, Bukan TKI di Negeri Jiran!

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kamu itu kenapa to, jadi guru kok nggak mau dibayar. Sudah kere, kok masih aja blagu”. Kata-kata Paiman begitu tajam menyayat hati Arif. Anak yang sehari-harinya jualan krupuk ini tak menyangka, betapa pedas kata-kata temannya itu merespon sikap dan pendiriannya. ya, sikap yang menurut kebanyakan orang terlalu naif itu membuatnya tak jarang mendapat cibiran senada dengan apa yang barusan Paiman katakan.

“Kamu tu harusnya tahu, kita ini merantau ke Malaysia ini buat cari duit, wajar kalau orang mengajar kemudian menerima upah dari apa yang diajarkan. Aku baru tau kali ini, ada orang mengajar kok malah nggak mau dikasih upah”. Dengan kesal, Paiman terus melancarkan kata-kata kasarnya.

“Tapi ini prinsip man! Guruku sendiri tak pernah mengajarkan meminta upah dengan mengajar”

“Tapi kamu tu bego’, la jaman sekarang mana ada orang yang mampu hidup dengan idealisme konyol itu”.

“Entahlah man, aku Cuma yakin dengan apa yang diajarkan oleh guruku itu benar”.

“Yo wes, karepmu rif”. Tanpa segan Paiman berlalu meninggalkan Arif. Tak ada lagi perbincangan setelahnya. hanya kesendirian yang menemani Arif.

Tak sedikit yang menilai Arif terlalu berlebihan menjadi Guru dengan tanpa menerima bayaran. Sebab, menurutnya profesi Guru bukanlah profesi kuli, bukan pula seperti kariawan, yang selalu tunduk dan taat dengan disiplin gaji, ‘datang telat, gaji dipotong’, bahkan ada juga yang datang  rumah ke rumah, dan ada pula yang diusir, bak seorang pengemis. seperti itulah kenyataan yang terhampar di depan matanya, di tempat ia berada sekarang, di negeri jiran.

Baginya Guru adalah panggilan hati. menjalankannya adalah kemuliaan tersendiri yang tak dapat diukur dengan berapa ringgit perjam. Walau sejatinya ia hanya menjadi guru part time di tanah jiran, Ia rela mengajar tanpa dibayar, dengan menjadikan jualan kerupuk sehari-hari sebagai penghasilan utamanya. Seiring profil guru yang sekarang makin merosot, terlebih masyarakat negri jiran yang menilai apa-apa serba dengan uang,  ia mencoba merubah itu semua dengan pendiriannya, biarpun bagi orang seperti Paiman, hal tersebut sangatlah naif mencoba berbuat seperti layaknya orang kaya, tak mau menerima upah mengajar.

Setelah kejadian itu, rasanya susah menjalani hidup berkomitmen dengan idealismenya. Tapi ia tetap pada pendiriannya, tidak mau serta merta membuang pemahaman tersebut hanya demi pengaruh mayoritas masyarakat, karena apa yang menurut mayoritas benar dan baik, belum tentu demikian adanya.

“InsyaAllah aku bisa menjalaninya dengan tegar”

Hanya itu yang mengakhiri sepenggal kisah dimalam itu. tak ada yang tau seberapa besar kesedihan yang ia alami. Purnama, bintang dan malam yang semakin larut pun nampak diam membisu, tanpa kata meninggalkan Arif seorang diri.

***

Suara kayuhan sepeda phoenix tua begitu khas mengiringi pagi Arif Amrullah di perkampungan Sungai Ramal. Hari ini seperti kebanyakan hari-hari sebelumnya, jualan kerupuk keliling kampung. Profesi yang tak begitu diminati oleh kebanyakan orang di sana, bahkan para TKI sekalipun, namun ia jalani tanpa segan dan malu, walau notabene ia anak berkecukupan dikampungnya. Komitmennya untuk hidup mandiri memupuk rasa berdikari yang besar dalam dirinya. Sangat memalukan jika anak seumurannya masih menggantungkan hidup kepada orang tua, biar pun itu masih kewajiban orang tua juga untuk menghidupi anaknya. Ia bahkan sengaja tak menjadi guru seperti kebanyakan orang dikampungnya yang merantau ke negeri jiran, padahal ia juga punya kapabilitas mumpuni sebagai seorang yang pengajar dan pendidik. Tapi, memang begitulah jalan pikirannya mengartikan profesi pengajar bukan suatu hal yang patut dikomersilkan. Dan terlebih tujuan Arif semula ke sana hanya untuk mencari pengalaman di negeri orang, menyelami budaya dan sosialnya, siapa tahu juga ia dapat meneruskan belajarnya di negeri yang konon terkenal dengan masyarakatnya yang agamis dan dermawan.

Ada nilai yang perlu dipegang teguh oleh setiap yang dipanggil ‘Guru’. Bagi Arif sendiri, profesi itu sudah seperti tuntutan dan kewajiban. Mengembannya seperti mengemban gunung dipundak. Karena masa depan bangsa juga menjadi jaminan bagi siapa saja yang bergelar ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ itu. kalau suatu negeri hancur oleh ulah para politikus korup, baginya mungkin kehancuran itu sendiri dimulai dari sikap dan mental guru yang hancur, sehingga tak ayal pada ujungnya malah para koruptor yang lahir dari bangku pendidikan.

Kurang lebih begitulah jalan pikirannya, hingga tak sadar seoarang kawan memanggilnya. Kawan yang ia kenal sudah lama, yang juga mengingatkan pada kejadian beberapa hari silam. Ya, siapa lagi kalau bukan Paiman. Arif menghentikan sepedahnya. Agaknya pertemuan kedua sahabat diperantauan membuat perbincangan antara keduanya tak dapat dihindari.

“Rif, pa kabar?”

“Eh Paiman, lama tak jumpa. Kamu kelihatan makin sukses aja”

Paiman sedikit terhibur dengan apa yang diucapkan Arif, “Ya ginilah Rif jadi guru tetap, ngomong-ngomong aku minta maaf, soal kejadian dulu. Memang aku terlalu berlebihan soal pendirianmu itu”.

“Ah biasa aja man, aku juga paham”. Senyum simpulnya tampak begitu ikhlas menerima kejadian beberapa bulan silam itu.

“Tapi kamu masing nggak menerima bayaran atas apa yang kamu ajarkan?”

“Yaa,,,begitulah man”

“Sebelumnya aku minta maaf Rif, bukan ku bermaksud apa terhadap pendirianmu itu, tapi coba pikirlah, kau sudah berjualan kerupuk seharian, yang tak semua orang bahkan para TKI pun mau melakukannya, habis itu kau mengajar di madrasah hingga malam. Tidak sepatutnya kau menolak pemberian dari para murid yang ikhlas, dan hormat kepadamu. lagipun kau tidak pernah menentukan harga bagi apa yang kau ajarkan kepada mereka. Dan itu semua amat wajar, bahkan semua orang memaklumi hal tersebut”.

Hanya selalu senyum simpul itu yang tergurat di wajahnya sebagai jawaban. Tak ada yang tau apa makna senyumnya itu. ia selalu begitu, entah ia sependapat atau sebaliknya terhadap pendapat orang lain.

“Makasih sarannya Man. Aku kerja dulu ya, mari,,,,!”

Dengan rasa iba Paiman melihat punggung yang basah oleh peluh itu, semakin menjauh, dan jauh. Rasa ibanya itu begitu beralasan mengingat temannya adalah seorang yang sama dengannya, sebagai TKI di negeri orang, dan lagi ia juga soerang diri berjuang menegakkan martabat keguruan. Ia begitu salut dengan teman yang satu itu. Bahkan sebenarnya ada pula rasa ingin dalam hatinya untuk jadi seperti Arif, namun ia sadar dirinya tak sekuat Arif. Ya, Arif si penjual kerupuk di negeri jiran.

***

Kala siang menjelam menjadi malam, Arif berpacu dengan waktu, menyusuri menusuri gang-gang sempit menuju rumah kontrakannya. Ia tak mau dikatakan makan gaji buta sebab keterlambatannya, walaupun kenyataannya ia tak pernah sama sekali menerima upah sepeserpun dari hasil mengajar ngaji setiap petang.

“Dah sampai to rif” kata seseorang yang biasa dipanggil pak Lek di lingkungan rumah kontraknya.

“Ya pak Lek”

“Dapet banyak nggak hari ini?”

“Yaa, lumayan lah macam hari-hari biasa. La wong yang beli paling-paling pelanggan tetap”. Rasa gengsi membuat ia menutupi fakta sebenarnya.

Pak Lek sendiri sudah tahu, melihat jumlah kerupuk yang tak berubah dari nominal aslinya. Tapi ia maklum mengetahui kebohongan Arif yang memang sedang tak ingin berdebat masalah pekerjaan. Ia tak terbiasa berbohong, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun.

“Rif, Rif, kamu tu jangan terlalu naïf kenapa?. Coba dari dulu kamu mau menerima upah mengajar, kamu tak lagi harus keliling seharian jualan kerupuk. Lihat itu, Paiman, Jumain, Ngadiran, semuanya bahkan bisa kirim uang ke kampung, Cuma hasil dari ngajar. La kamu kok malah milih ngejalani pekerjaan orang yang nggak punya sekil. Semua Orang bisa melakukannya, tanpa harus sekolah tinggi-tinggi. La sedangkan kamu punya sekil mengajar, lulusan perguruan tinggi lagi, bahkan lebih baik dari mereka yang Cuma lulusan aliyah. Kenapa nggak nyari  duit aja dengan ngajar kayak mereka ?”

“Entahlah pak lek. Saya sendiri ngrasa nggak pantes nrima upah dari hasil mengajar. Itu lebih terkesan nggak ikhlas. Jadi ngajar Cuma sebatas panggilan gaji, bukan panggilan hati. saya lebih suka mendapat hasil dari royalty penjualan buku yang saya tulis”

Selain mengajar dan jualan krupuk, ternyata Arif tengah menulis buku berkenaan dengan materi yang ia ajarkan kepada murid-muridnya. Alumnus fakultas tarbiyah di perguruan tinggi  suasta ini memang begitu teguh memegang pendiriannya, guna memperbaiki kualitas guru dan meluruskan paradigma masyarakat yang cendrung negative terhadap profesi keguruan. Ia tak rela kalau harus melihat kenyataan pahit di depan matanya, ketika keguruan menjadi hal yang menurut kebanyakan orang bisa dan mudah dilakukan oleh siapa saja. Dengan semangat dan  keyakinannya itu, ia menjadikan dirinya sebagai prototaip dari manusia ideal dengan menjadi guru sebenar-benarnya guru. Sambil tetap juga mencari peruntungan di negeri orang, siapa tahu ia bisa melanjutkan belajar.

Ia ingat, ia harus segera mengajar. Tak ada yang perlu diperpanjang dari percakapan dengan teman satu kontrakannya, pak Lek. Ia sadar dengan pilihan yang ia ambil, dan juga dengan setiap paradikma dari karakter-karakter yang ia temui selama ini, seperti Paiman dan juga pak lek.

biarlah apa kata orang, aku tetaplah aku”. Gumamnya dalam hati, sembari menaiki sepeda phonix tua meninggalkan rumah kontrakannya. Ia terus mencoba menguatkan pendiriannya, menguatkan pendapatnya, walau kenyataannya memang berat, penuh cobaan dan godaan. Ia yakin bahwa suatu saat ini semua akan berakhir dengan indah.

***

Malam itu, dengan sepeda phonixnya Arif menyusuri jalan saujana. Seperti biasa , jalan itu tampak sepi dengan hanya pohon mimbo yang menjadi saksi betapa besar integritasnya sebagai guru pengajar, dan betapa konsisten ia menjaga ketulusannya mengajar dengan tanpa menerima upah sepeserpun. Beberapa pemukiman menjadi tempat para pemukimnya menyaksikan Arif Amrullah melaju dengan phonixnya yang tampak kepayahan.

Jalan yang menghubungkan rumah kontrakan Arif dengan pondok Raudatul mujawwidin itu terkadang sangat sepi tiap malam, hanya beberapa bis pekerja yang melintasinya dengan para penumpang yang kebanyakan para TKI wanita berwajah kuyu, letih dan penuh kejemuan. Sepertinya rutinitas bekerja seharian telah melunturkan paras ayu mereka. Arif pun sadar, nasib tidak memberi pilihan pada para wanita itu guna menjadi selir para pejabat. Desakan ekonomi menjadi hal yang sudah terlalu klise dibicarakan sebagai faktor utama para wanita itu merantau jauh ke negeri jiran, menjadi buruh di pabrik-pabrik.

“Sungguh malang betul wanita negeriku, menjual tenaga di negeri orang demi sesuap nasi”. Ia jadi geram dengan sikap pemerintah negerinya yang hanya menikmati uang devisa dari para TKI seperti mereka.

Arif yang terlalu melamunkan hal-hal aneh dan njlimet itu tak begitu memperhatikan jalan yang berlubang, lagi lampu sebuah mobil yang melaju kencang dari arah depan membuatnya silau dan kaget. Kecelakaanpun terjadi, dimana sepeda phonix tua beradu dengan bis pekerja. Ia terlempara cukup jauh dari badan jalan. Dan tiba-tiba, bayang-bayang itu silih berganti muncul dalam angannya, mem flash back kejadian-kejadian yang pernah mampir dalam hidupnya; para muridnya, buku yang ia tulis, keluarganya, teman-temannya dan cita-cita besarnya, semua berputar menjadi satu dan kemudian hanya cahaya putih yang ia lihat. Semakin putih, putih dan terang, dengan suara bising yang semakin lama semakin tenggelam, tak terdengar.

***

Bis kuning itu berhenti. Supir dan para penumpangnya itu sontak berhamburan keluar, melihat sesosok lelaki berkemeja putih yang berlumuran darah terlempar sejauh beberapa meter dari badan jalan. Walau berdarah-darah, wajahnya terlihat putih, bersih dan berseri, hampir menampakkan kesan senyuman. Namun, lelaki tersebut sepertinya sudah tak tertolong lagi.

Kini ia telah pergi dengan cara yang cukup tragis. Tak ada lagi sudah, si lelaki naif dengan ideologinya yang menurut kebanyakan orang ‘tak realistis’ itu. tak ada lagi Arif si penjual krupuk yang menolak menerima upah dari hasil mengajarnya, tak ada lagi orang yang katanya mau mengangkat martabat guru dan merubah paradigma masyarakat terhadap profesi keguruan itu. karena ia telah pergi, syahid dalam jihadnya. Jihad mengangkat martabat guru di tanah melayu ini, sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ yang tak bisa dibeli dengan uang dan harta.

Malam itu hujan turun di langit kota Kajang, seakan langit menangis mengiringi kepergian seorang penjual krupuk dan juga seorang guru itu. kini dunia telah kehilangan sosok pejuang besar yang tak pernah diakui oleh dunia sendiri, kecuali beberapa orang yang pernah singgah dalam hidupnya. Bersama kematian, ia telah sampai kepada tujuan sebenarnya, menjadi ‘pahlawan tanpa tanda jasa’.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline