Lihat ke Halaman Asli

Memelihara Sakit Hati atau Mengolahnya Menjadi Prestasi

Diperbarui: 18 Agustus 2018   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.pinterest.co.uk/AyatMurad

Salah satu kenyataan masalah dalam hidup yang mau tidak mau harus kita hadapi adalah sakit hati. Entah itu sakit hati yang disebabkan perilaku orang lain atau perilaku diri kita sendiri yang tidak tanggap sehingga orang-orang yang dekat dengan kita melakukan satu hal kecil saja bisa menimbulkan sakit hati. Perlakuan yang menyebabkan luka dan terbakar, hingga kita anggap mereka tidak mengerti kita.

Contoh yang bisa dilihat di televisi. Suami istri yang bertengkar dan berakhir dengan tindakan kriminal. Seorang murid sakit hati dan mencederai gurunya. Anak kecil sakit hati lalu memukul temannya.

Sakit hati ada dimana-mana. Sakit hati bukanlah diobati dengan resep dokter. Melainkan sakit hati adalah sakit perasaan. Jiwa sakit. Yang bisa melahirkan dendam. Pandawa disakiti oleh Kurawa, lalu dikucilkan. Seorang nabi dikucilkan pengikutnya sendiri. Pemimpin terkadang dibenci oleh yang berada di sampingnya.

Sakit hati adalah sebuah rasa yang nyeri. Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sakit akan abadi jika tidak diobati. Menjadi bara yang membakar dan bisa berakibat positif atau negatif. Positif jika membakar menjadi prestasi. Negatif jika menjadi kebencian yang tak berkesudahan.

Jika kita melihat ke sekitar, ada mereka yang merasakan begitu perih hingga tak mampu bangkit lagi. Ada juga yang menyalurkan ke sesuatu yang lain. Bahkan ada yang ke rokok atau ganja. Ada pula yang tenang saja dan menganggap sakit hati adalah angin lalu.

Tak sedikit cerita yang menimbulkan sakit hati yang dialami kita.

Sakit hati yang membuat kita kelu, tak dapat berbicara dan hanya menangisi nasib hanya berakibat sakit hati itu berputar di rumah sakit hati bukan di ranah lain yang seharusnya menjadi fokus dalam tujuan hidup kita.

Sakit hati bukanlah hal yang penting saat kita sadar bahwa kita yang menciptakan dan memelihara perasaan itu.

Seorang pengamen yang mengamen dari satu tempat duduk ke tempat duduk yang lain di sebuah rumah makan bisa saja sakit hati karena ia ditolak. Namun memelihara sakit hati hanya akan membuatnya bergerak jadi pengamen dengan nasib yang sama seperti itu.

Saya pernah sakit hati dengan seorang pengemis yang menolak pemberian saya. Namun sakit hati itu saya olah menjadi hal lain yang lebih menyehatkan. Berpikir positif bahwa siapa tahu pengemis itu menolak karena ia punya harga diri.

Bisa jadi juga ia terbiasa menerima pemberian uang yang lebih besar nilainya daripada yang saya beri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline