Harry membagikan dua lembar kertas berisi artikel tentang Penyu dan Monyet kepada jurnalis peserta pelatihan menulis. Dia meminta peserta untuk membaca artikel dengan seksama. Sekitar 15 menit kemudian, Harry meminta tanggapan peserta tentang apa yang dirasakan usai membaca artikel yang terbit di Harian Kompas tahun 1991 itu.
"Sadis ," ujar Helda, Jurnalis dari Harian Kalpost. Harry balik bertanya, "Apakah ada kata-kata sadis yang saya tulis dalam artikel itu.". Tidak ada," jawab Helda.
Lalu apa yang membuat Helda dan peserta pelatihan lainnya menyimpulkan artikel yang ditulis Harry adalah peristiwa sadis?. Jawabannya adalah, kekuatan narasi seorang Harry Surjadi. Dalam artikel tentang penyembelihan penyu untuk konsumsi itu, Harry menulis secara detail kronologi penyembelihan penyu, sehingga pembaca merasa melihat langsung kejadian, lalu menyimpulkan betapa sadis dan memilukan peristiwa itu
Narasi adalah kekuatan berita lingkungan atau konservasi. Begitu kira-kira pesan Harry kepada jurnalis dari Balikpapan, Samarinda, dan Berau, yang menjadi peserta dalam pelatihan menulis konservasi laut yang digelar Dinas Perikanan Berau, bekerjasama dengan The Nature Conservancy (TNC), Minggu hingga Senin, 23-24 September 2018 di Tanjung Redeb, Kabupaten Berau.
Kekuatan narasi hadir dari kemampuan observasi. Harry mengungkapkan, observasi adalah kemampuan mengumpulkan fakta lapangan, dimana fakta merupakan seluruh peristiwa yang bisa ditangkap oleh panca indera. "Cara mendapatkan informasi, ada tiga. Pertama, observasi, wawancara, dan data riset. Ketiga sumber informasi ini penting, tapi kekuatan untuk menulis narasi ada pada observasi," kata Harry yang sudah menjadi jurnalis lingkungan kurang lebih 20 tahun.
Tak heran, jika di hari pertama simulasi, Harry meminta seluruh peserta untuk melakukan observasi singkat, lalu mengungkapkan hasil observasi. Setiap orang dalam satu kelompok mencari objek untuk diobservasi. Waktu yang diberikan hanya sekitar 5 menit. Setelah selesai observasi, setiap orang menjelaskan tentang apa objek yang diamati selama proses observasi. Hasilnya, hampir setiap orang masih terdistorsi dengan asumsi. Tidak semua murni fakta.
Semisal, seorang pria yang mengenakan baju safari hitam dan celana hitam disebut sebagai sekuriti hotel. "Darimana anda tahu, kalau dia adalah sekuriti, hanya karena bajunya mirip seragam sekuriti?. Hati-hati, berita bisa salah karena jurnalis berasumsi, bukan menyebut fakta. Kalau anda tidak jelas, cukup sebutkan yang anda lihat, bajunya warna hitam, mengenakan celana hitam, sepatu hitam, dan seterusnya. Jangan menyimpulkan," ujarnya.
Berdasarkan data yang dikutip dari www.inobu.org, Harry Surjadi adalah pendiri dan Direktur Eksekutif Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SEIJ). Ia telah bekerja sebagai wartawan dan editor yang meliput isu pertanian, teknologi, dan lingkungan selama 20 tahun. Dari tahun 2007 sampai 2008, Surjadi adalah Knight International Journalism Fellow di Indonesia.
Surjadi memulai karir jurnalistiknya di Trubus, sebuah majalah pertanian. Dia kemudian bekerja untuk harian Kompas selama hampir sepuluh tahun. Pada tahun 2000, Surjadi membantu mengembangkan Astaga.com, sebuah portal berita daring. Dia pernah bekerja sebagai reporter lepas dan media trainer di Indonesia dan tempat lain di wilayah ini. Ia juga telah mengajar mata kuliah komunikasi daring di Universitas Pelita Harapan.
Surjadi menulis sebuah bab tentang Indonesia pada tahun 2004 dalam buku "Perubahan Iklim: Lima Tahun Setelah Kyoto" Surjadi juga telah meluncurkan layanan berita lingkungan versi mobile bagi penduduk Indonesia yang memiliki keterbatasan akses terhadap informasi dengan bermitra dengan jaringan berita radio terkemuka di Indonesia.