Lihat ke Halaman Asli

Antara Buku, Panutan, dan Fikih Tolol

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

oleh: Pyan Sopyan Solehudin

Satu lagi aku mengenal orang yang kukagumi tulisannya: Radhar Panca Dahana. Sebelumnya aku mengenal beliau, ketika aku lawatan ke PT.Sarana Jabar Ventura—kelas MKS—Manajemen Keuangan Syariah—mau mengadakan studi lapangan untuk mata kuliah Modal Ventura Syariah. Waktu itu aku datang sama dudi, mau menanyakan bagaimana prosedur agar jurusan kami bisa mengenal perusahaan modal Ventura Jabar ini.

Ketika aku menunggu di ruang tamu, ada salah satu dari mereka, entah karyawannya atau siapa yang menenteng buku warna sampul merah putih dengal judul Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia. Dan dari lambangnya aku tahu penerbitnya Resist Book, satu penerbit yang mengambil slogan, “Hanya Satu Kata: Lawan” yang kutahu kemudian bahwa tag itu milik bait puisi Widji Tukul, penyair yang dihilangkan entah kemana di masa Orde Baru.

Setiap kali ke toko buku dan Pasar Buku Palasari, semakin membenak buku tersebut. Tapi waktu itu belum ngenes aku membelinya. Aku masih “terobsesi” dengan tulisan Mas Pram, Pramoedya Ananta Toer. Ingin buku-buku beliau kubaca seluruhnya, yang berdasar pengakuannya berjumlah 39 judul, termasuk yang dibredel Angkatan Darat masa Orde baru. Bukan untuk apa, hanya agar mendapatkan pemahaman utuh tentang pergumulan “anak-anak rohani”-nya.

Dan ketika sekarang aku terus mengkrucutkan bacaanku, ingin lebih banyak membaca buku, jenis buku puisi, cerpen, dan esei saja. Sehingga setiap aku punya uang ingin beli buku yang kupilih ketiga sub tadi saja. Karena sebelumnya aku sudah membaca karya-karya Cak Nun, Emah Ainun Nadjib, bukunya terdiri dari lini esai, puisi dan cerpen. Makanya kucari kemana-mana adalah buku tersebut, meski harganya mahal. Biarpun mahal—apalagi yang murah—adalah kubeli dan kubaca. Dan lagi aku ingin lebih banyak membaca karya-karya Cak Nun. Dan juga sekarang Bung Radhar ini.

Kini aku telah membaca dan memiliki satu karya esei beliau, judul bukunya “Dalam sebotol Coklat Cair dan sejumlah esei seni, yang penerbitnya Koekoesan, milik teh Reieke Dyah Pitaloka. Teh Oneng ini sudah punya penghasilan dari sebagai artis, sekarang politikus anggota dewan, dan juga memiliki usaha penerbitan. Lengkaplah sudah pundi-pundi rezekinya. Sedangkan aku bagaimana ini, bagaimna jatah rezekiku. Dikeloni saja batinku, seperti yang orang tua sering bilang: Rezeki Tidak Akan Tertukar.

Membaca tulisan Esei memang cocok untuk zaman sekarang yang kian sempit waktu berkontemplasi, terus tergerus oleh arus modernisasi. Dari tulisan yang cukup pendek, bisa memberikan kesegaran, wacana baru dan atau kesimpulan baru untuk langkah berikutnya. Ini kudapatkan setelah banyak membaca Esei Cak Nun dan Bang Radhar ini.

Dengannya aku jadi tahu problem akut bangsa ini, zaman ini. Dan nanti aku ingin menjadi pelanjutnya, jika Allah menghendakiku aku masuk ke “Negara” ini, disamping juga masuk “negara” Ekonomi Syariah. Tapi intinya Islam saja yang kuperjuangkan. Tapi dari yang kutulis sebagai impianku, aku ingin bergelut di bidang keuangan syariah, pendidikan, dan perbukuan. Mungkin tiga kerajaan inilah yang menjadi eksistensiku di alam bawah sadarku.

Lalu bagaimana sekarang? Terlambatkah aku menyadarinya, sadarkah dengan apa yang kungini ini? Kenapa aku terlambat mengenal sastra, mengenal novel, cerpen, puisi, dan enterpreneurship, bagi Bang Adri Maadsa. Apakah karena Fiqih Tolol itu—meminjam bahasa Cak Nun—yang menganggap sia-sia bahkan sampai mengharamkan bahwa membaca cerita itu sia-sia. Mereka bilang novel hanyalah cerita bohong, untuk apa percaya pada kebohongan cerita, rekayasa cerita. Seharusnya cerita pada hal-hal nyata, yang pernah terjadi, seperti kisah Nabi dan Rasul-Nya, juga generasi Salafus Saleh.

Memang kisah Nabi dan Rasul adalah penting, yang harus dibaca juga. Tapi itu bagi yang tidak suka. Jika sumpek bacanya, paksakan saja supaya suka. Cukup. Tahukah kau bahwa duapertiga isi al-Quran adalah kisah-kisah? Kenapa Allah memberikan pedoman berupa dengan banyak kiasan kisah? Dengan sastra? Kisah itu Sastra.

Idealnya semua orang membaca kisah Nabi dan Rasul, menyukainya, mengkajinya, menemukan simbolis baru, menjadi penghayatan baru. Untuk apa membaca kisah tersebut hanya sebatas cangkangnya saja. Supaya bisa menemukan simbol baru atau hikmah baru harus menggunakan perangkat ilmu lain. Bisakah saudara membuka gembok pintu tanpa kunci, membongkar radio tanpa obeng. Dan untuk memiliki perangkat itu harus ditanamkan sejak dini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline