Sempat pesimis ketika membuka "lot" tema yang harus dibahas pada Majalah Matahati Edisi: Musyda ini. Ibarat kata -Untung tak dapat diraih-Malang tak dapat ditolak, pokok bahasan yang cukup menantang tidak hanya karena masih sempitnya pemaknaan penulis melainkan juga (mungkin) kurang lazim jika dibahas pada media terbitan Lazismu Ponorogo yang masih sebatas difungsikan sebagai media komunikasi antara Lembaga dan Donatur sekaligus penyampaian laporan penghimpunan dan tasyaruf program.
Ditambah lagi, istilah "Primordialisme" pengaplikasiannya cukup langka (rare) untuk dikonsumsi sebagai bahan diskusi harian. Bagaimanapun, konteks yang melatarbelakangi dipilihnya pembahasan istilah ini menjadi sangat penting dan tidak dapat dipisahkan begitu saja.
Secara etimologi "Primordil atau Primodialisme" berasal dari Bahasa Latin yang terdiri dari 2 suku kata primus yang berarti pertama dan ordiri yang berarti tenunan atau ikatan. (Sumber Wikipedia).
Sedangkan menurut KBBI Primordialisme diartikan sebagai keteguhan sikap tentang pandangan (faham) terhadap sesuatu yang dibawa sejak kecil meliputi tradisi (tradition), adat istiadat (cultures), kepercayaan (beliefs) serta segala sesuatu yang telah didapatkan sejak dalam lingkungan pertama mereka.
Beberapa penjabaran di atas senada dengan pendapat Stephen K Sanderson yang menempatkan Primordialisme sebagai pandangan atau faham bahwa identitas etnis adalah sesuatu hal yang melekat pada individu sehingga sulit dihilangkan atau dihapus. Ikatan inilah yang terbukti menjadi salah satu motif kuat dari gerakan angkat senjata para pejuang kemerdekaan Negara kita.
Merasa senasip sepenanggungan, memiliki cita-cita sama sehingga para penjajah kemudian menjadi common enemy (musuh bersama). Berbanding terbalik, semangat Primordialisme yang berlebihan dan tidak terkontrol dituding melatarbelakangi terjadinya insiden berdarah Genosida (pembantaian besar-besaran dan sistemik) 800.000 orang Suku Tutsi dan Hutu Moderat oleh Sekolompok Ekstrimis Hutu tahun 1994 di Rwanda sebuah Negara Terpadat di Afrika Tengah.
Ibarat bom waktu, Primordialisme yang membabi buta dapat kapan saja disulut oleh aktor-aktor tidak bertanggung jawab. Endingnya tentu menimbulkan banyak kerugian bahkan sampai dengan hilangnya nyawa. Pengaruh negatif dari sikap primordial yang berlebihan akan memunculkan pribadi dengan watak diskriminatif, membuka kemungkinan konflik horizontal, menganggu bahkan menghambat hubungan antar kelompok.
Bentuk diskriminatif dan cenderung menganggap yang bukan dari kelompoknya adalah "musuh bersama" akan menjadi hambatan pada upaya membangun sebuah bangsa.
Beragamnya suku, budaya, adat, maupun agama di Negeri ini adalah jawaban pasti jika sikap primordial berlebihan justru akan mengikis semangat Nasionalisme yang selama ini tumbuh subur dibingkai dengan Kebhinekaan.
Primordialisme yang terarah memang mampu melahirkan semangat Patriotisme. Sebuah semangat yang akan mampu menghilangkan perbedaan tanpa mempermasalahkan jika yang terbaik terlahir dari kelompok minoritas sekalipun.
Menurut Koentjaraningrat dalam Moeis (1993), sikap Primordialisme memiliki dampak positif dan negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Dampak positif primordialisme meliputi; meneguhkan perasaan cinta tanah air, mempertinggi kesetiaan terhadap bangsa, meningkatkan semangat patriotisme dan nasionalisme, dan menjaga keutuhan dan kestabilan budaya.