Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ashsubli

Akademisi dan Dai

Pemimpin Baru di Tahun Baru

Diperbarui: 2 Januari 2016   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Kalender telah berganti menjadi 2016. Begitu pula dengan kepemimpinan di sebagian Propinsi Riau yang telah sukses mengadakan Pemilukada serentak tahun 2015 silam. Bumi lancang kuning telah  diperhadapkan pada momentum politik lokal yang memberi kesempatan untuk menentukan masa depan bersama, merangkai harapan baru. Kita pun telah melewati tahun 2015 dengan perasaan sedih, kecewa, bahagia, bangga, sumringah dan bahkan telah membuat kita mesti terbahak-bahak walau tak lucu.

       Pergantian kepemimpinan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Sesuatu yang dimungkinkan dalam kerangka demokrasi prosedural. Begitu pula bergantinya tahun adalah sesuatu yang alamiah, sering terulang dan bahkan hanya berlangsung beberapa detik. Tradisi pergantian telah menjadi perhelatan penting dalam setiap penjuru dunia, pada intinya  ingin berubah  lebih baik, ada yang merasakannya dengan pesta fora, ada juga dengan zikir bersama meski hujan melanda.

      Pergantian waktu sekaligus kepemimpinan rupanya telah menjadi seragam dalam memori kita. Bahwa ia adalah momentum untuk melepas sekaligus mengharapkan. Kita tentu akan melepas yang lalu, tapi kita tak dapat menjemput yang akan datang, karena yang akan datang adalah juga yang terbuka. Tak terberi sekaligus tak terpikirkan. Masa depan adalah sesuatu yang terbuka sekaligus adalah juga misteri.

      Semua di antara kita pasti telah saling bertanya tentang rencana pergantian dan pengharapan itu. Banyak hal yang dilakukan dengan itu, ada yang memperlakukan momentum dengan ritual teologis seperti dzikir dan sebagainya, ada pula yang melaksanakan diskusi dan pameran prestasi untuk merefleksikan kehidupan yang telah lewat sekaligus memperkirakan masa depan.

     Demikian juga untaian doa serta harapan  dipanjatkan kepada pemimpin baru  yang telah mendapatkan mandat resmi dari rakyat. Potret buruk kepemimpinan politik masa lalu, tidak mutlak kesalahan sepenuhnya dialamatkan hanya kepada para kepala daerah saja, tapi juga ada kontribusi masyarakat di dalamnya karena masyarakatlah yang memilih mereka.

      Ungkapan  dari Ibn Qayyim al-Jauziyah patut untuk direnungkan, yaitu bahwa prilaku rakyat seakan-akan merupakan cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zalim. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkan hikmah Allah swt, seorang penguasa atau pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya.

      Tinggal lagi persoalan yang selalu dialami oleh mayoritas masyarakat berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah adalah tidak sedikit para pemimpin yang tidak mampu menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Sebagian besar mereka terjebak pada sikap pragmatisme absolut dan prilaku yang tidak sehat serta kurang terpuji sehingga apa yang menjadi harapan masyarakat pada umumnya yang telah memberikan mandat kepada mereka kandas di tengah jalan.

      Dengan demikian, pengalaman masa lalu hendaklah menjadikan guru di masa depan. Sebab, dalam pandangan penulis, baik-buruknya suatu kaum amat ditentukan oleh siapa pemimpinnya. “Bila pemimpinnya suka bersiul, paling tidak rakyatnya suka menggoyangkan bibir, bila pemimpinnya suka ketawa, paling tidak rakyatnya suka senyum, bila pemimpinnya suka korupsi, paling tidak rakyatnya suka mencuri jambu tetangga, dan apabila pemimpinya orang takwa, paling tidak rakyatnya alergi berbuat dosa.

     Ada beberapa proyeksi yang patut dijadikan contoh dari  pola kepemimpinan masa depan, antara lain;

Pertama, Pemimpin  harus memiliki sence of crisis yakni mampu merasakan kesulitan dan penderitaan orang lain,   `azizun `alaihima `anittum.Ia jugamemiliki komitmen yang kuat untuk mensejahterakan umat, memiliki rasa menghargai rakyat,Sense of Achievement(harishun `alaikum),  dan tak kalah pentingnya pemimpin itu  rauf dan rahim, yaitu memiliki cinta dan kasih sayang yang tinggi alias memiliki Sense of Love. if you are not loving, you are not living.

Kedua, pemimpin harus memiliki sikap yang independen dalam memilih dan menempatkan ‘punggawa’ yang menjadi perpanjangan tangan kekuasaannya dalam memakmurkan alam semesta. Pemimpin harus bijak dalam menempatkan posisi sesuai kualitas dan profesionalisme yang dimiliki para ‘punggawanya’. Bila pemimpin tidak memiliki sikap independen, maka ia bagaikan ‘wayang’ yang bergerak sesuai kepentingan dan keinginan si dalang yang punya cerita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline