Lihat ke Halaman Asli

Ashri Riswandi Djamil

Belajar, belajar, dan belajar

Yang Tak Pernah Lelah

Diperbarui: 26 Desember 2020   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku melihat dia sedang melakukan rutinitas harian. Setiap hari sejak aku mulai bisa bicara dan merespon apapun. Entah saat umur berapa itu. Tapi memori itu terus muncul tak beraturan. 

Bahkan sampai saat ini. Ada beberapa memori masa kecilku yang seolah menempel tidak bisa di hapus dalam ingatan. Entah syaraf otak apa dan sebelah mana yang bertugas melakukan hal luar biasa ini. Memori itu bahkan aku dapat merasakan aroma ruangan dan suasana ketika itu.

Saat itu aku sendiri mungkin umur 5 atau enam tahun. Awal-awal sekolah. Dia sampai khawatir yang terjadi pada anaknya. Walaupun di awal-awal aku belajar berhitung dia selalu memarahiku karena tak paham-paham. Padahal aku paham. Berkali-kali aku di marahi sampai di bentak-bentak. Anehnya aku takut dan keesokan harinya aku tidak kapok. Masih saja berkutat dengan menulis. Mulai menulis abjad latin sampai angka. Mungkin dia tertekan atau mungkin malu karena anak-anak lainnya yang seumuranku sudah bisa. Dan aku belum bisa.

Saat itu sebagai anak kecil aku tidak paham semua kekhawatiran orang tua. Aku hanya melakukan apa yang mereka minta dan perintah. Tanpa bertanya. Terkadang aku hanya marah, dan menangis sendiri ketika keinginanku tidak terpenuhi. Untuk sekedar tidak tidur siang saja itu bisa membuatku gembira.

Tak ada rasa marah kepadanya sedikitpun. Bagaimanapun dia telah melahirkanku. Tentunya saat itu aku belum berpikir kesana. Anak sekecil itu belum punya pemikiran, ataupun cara berpikir. Semua dilakukan berdasarkan emosi dan sedikit logika. Suatu ketika aku dibuat kesal oleh adikku yang belum sekolah. 

Sampai puncak kemarahanku kudorong dia yang sedang memegang gelas dan jatuh hingga gelaspun pecah. Dan pecahannya melukai salah satu tangannya. Darah segar bercucuran. Dia pun menangis teriak sejadi-jadinya. Ibu menghampiri dan semua emosi menyatu dan adikku dilarikan ke rumah sakit saat itu juga. Darurat seisi rumah gempar menggelepar. Aku sempat dimarahi. Dan seketika aku merasa kasihan dengan adikku yang seringkali menjengkelkan.

Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Begitu jahatnya kah aku saat itu? Sering terpikirkan belakangan ini. Dan itu tidak hanya satu kasus, kasus lainnya terjadi pada adik perempuanku, suatu ketika aku sedang asyik menyeterika baju yang kuanggap seperti main-main. Dan direcoki oleh adikku itu. 

Spontan aku marah dan kuseterika tangan putihnya. Namanya seterika panas walau hanya satu detik saja. Tetap saja tangan melepuh dibuatnya. Teriak lah dia dan segera ibuku datang dan memukul lenganku dan membawa adikku keluar kamar dan menyirami tangannya dengan air mengalir. 

Kegilaan apa yang ada dalam diriku saat itu. Belakangan aku tahu kalau aku tipe diam-diam bom atom. Banyak diamnya, namun sekali emosi. Gila serumah dibuatnya. Berkali-kali aku dimarahi dan dipukul, mulai dengan tangan kosong sampai pakai sapu. Dan aku hanya meringis dan menahan sakit.

Namun seiring waktu berjalan, aku lega, ternyata aku tidak menjadi psikopat. Tidak menjadi pribadi pendendam. Dan tidak sekejam itu. Yang lebih hebat adalah Ibu ku yang tidak pernah lelah mendampingi semua anaknya. Baik si trouble maker seperti aku dan adik laki-laki ku. Dia tidak pernah menyerah pada kenakalan anak-anaknya. 

Pada akhirnya dia tetaplah seorang ibu. Dan aku tidak pantas bahkan untuk marah, sekalipun terkadang saat aku merasa benar. Sesederhana ikut apa kata orang tua, selama itu berada di ranah kedisiplinan, bukan jalan hidup yang kita pilih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline