Lihat ke Halaman Asli

Ashri Riswandi Djamil

Belajar, belajar, dan belajar

Pendidikan dan Urgensi Teknologi Informasi

Diperbarui: 15 Agustus 2020   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari yang lalu sebagian besar orang tua murid dan guru se Indonesia bisa sedikit lega. Kok sedikit? Ya karena Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim telah mengumumkan beserta mengeluarkan surat keputusan bahwa dana BOS dapat digunakan untuk mensubsidi kuota internet murid dan guru. Senang pastinya. Mungkin selama ini pihak sekolah. Apalagi swasta belum semuanya memberikan uang kuota bagi guru-gurunya sebagai garda terdepan pendidikan anak-anak kita.

Karena tidak semua lembaga pendidikan dasar dan menengah memiliki anggaran atau dana yang cukup untuk memberikan uang kuota. Karena imbas dari tutupnya sekolah maupun pesantren dan pembelajaran jarak jauh ini, berdampak pada keuangan baik sekolah maupun orang tua murid. Kesehatan dan ekonomi yang paling terkena dampak covid-19 ini. Namun kegiatan pembelajaran harus tetap berjalan. Tidak ada pilihan lain. Sampai-sampai Kemdikbud mengeluarkan kurikulum darurat dengan segala kontroversinya. Namun saya sebagai guru tetap harus menjalankan tugasnya yaitu mengajar dan mendidik.

Pendidikan harus tetap berjalan apapun yang terjadi. Apalagi saat ini ada teknologi yang memungkinkan pembelajaran jarak jauh dijalankan. Entah kalau pandemic ini muncul di awal 90-an. Lain cerita. Saat ini pendidikan dan teknologi informasi sebagai alat  atau tools, harus berjalan bersama. 

Walaupun hasil yang diharapkan tidak akan sama dengan pembelajaran tatap muka langsung. Banyak kendala, keluhan mulai dari anak-anak didik sampai orang tua bahkan gurunya. Nada seperti "haduh anak saya ini malah making a karu-karuan belajarnya". "Aduh anak-anak kelamaan dirumah kok jadi malas ya?". Dan masih banyak lagi aduh-aduh yang lainnya. Semua hal pasti ada tantangan dan kesulitannya. Disinilah kita sebagai guru sekaligus orang tua harus pandai-pandai mengatur situasi.

Tidak ada yang salah dengan keluhan. Memang manusia itu suka mengeluh. Jangan dinyinyiri. Justru di kasih dukungan moral minimal. Karena kita melalui ini bersama. Bahkan se dunia. Jadi kita tidak sendirian. Maka yang paling penting disinilah bagaimana kita bisa menyikapi semua permasalahan ini dengan bijak. Apalagi bagi orang tua. Yang dihadapi adalah anak sendiri. Kami para guru juga tidak sudi menyusahkan orang tua di rumah akibat tugas-tugas yang diberikan. Bahkan guru dituntut untuk tidak memberikan pembelajaran seperti saat normal. Ada sedikit kelonggaran. Minimal anak-anak ada aktifitas belajar di rumahnya. Memang, pembelajaran jarak jauh ini belum bahkan bukan untuk anak-anak usia dini sampai remaja. Berbeda dengan mahasiswa. Yang lebih dewasa dan harus mandiri. Itu pun masih saja ada kendala.

Permasalahan kuota ternyata tidak sampai di disana saja. Bagi anak-anak yang tinggal di kota, mungkin tidak begitu masalah. Karena sebagian besar memiliki gawai. Baik smartphone atau laptop. Tapi bagaimana dengan anak-anak kita di pelosok. Kendalanya lebih-lebih lagi. Oke kuota sudah ada, tapi sinyal kurang bagus karena faktor geografis. 

Ada kuota pun tapi mahal. Karena mungkin di daerah tersebut hanya satu operator seluler yang ada dan mahal harga paket internetnya. Jadi permasalahan tidak sampai perkara kuota saja. Satu lagi. Anak-anak tidak punya smartphone karena mahal. Seolah dengan PJJ ini mereka harus memiliki alat yang sebelumnya tidak mereka butuhkan. Karena mereka anak-anak yang aktif. Bermain dengan alam dan teman-temannya. Tidak butuh main games seperti anak kota. Tidak tahu mereka apa itu sosmed, pubg, free fire, mobile legend, dota, dll... tidak ada habisnya.

Mereka anak-anak yang bersahabat dengan alam. Makan pembelajaran jarak jauh tidak cocok untuk mereka. Jangan sampai ada lagi kejadian seorang Bapak yang mencuri smartphone demi anaknya agar dapat ikut belajar online. Karena tidak punya uang untuk membeli smartphone. Sedih sekali mendengarnya.

Pendidikan dan teknologi informasi memang tidak bisa di elakkan lagi. Ini adalah zamannya. Berkembang terus. Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi bagaimana pendidikan dan teknologi ini bisa berjalan beriringan. Caranya? Ya memang infrastruktur telekomunikasi harus merata. Seharusnya agar harga terjangkau harus memproduksi gawai sendiri. Tidak ada cara lain. Sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Karena teknologi informasi ini dapat membantu masyarakat secara menyeluruh. Membantu mendapatkan informasi yang berguna untuk kehidupan. Sebagai contoh petani perlu informasi bagaimana menghasilkan tanaman yang efektif. Semua itu di dapat dari mengakses informasi di internet. Begitu juga yang lainnya. 

Dengan mudahnya terjangkaunya informasi ini maka berdampak pada ekonomi rakyat juga. Semua berbasis pengetahuan dari teknologi informasi ini. Jika dimanfaatkan dengan baik dan mudah di akses dimanapun. Memang tantangan Negara kita Indonesia adalah kondisi geografisnya yang berbentuk kepulauan. Saya berharap anak-anak kita ada yang menciptakan alat yang dapat menyebarluaskan sinyal internet agar terjangkau sampai tempat-tempat jauh di Negeri tercinta kita ini. Semoga     

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline