Di era globalisasi sekarang, media sosial telah menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi, mereka telah menjadi bagian hidup terpenting atau bahkan identitas bagi banyak remaja.
Dalam zaman yang di mana teknologi dan digitalisasi sudah merajalela, remaja tidak hanya menggunakan media sosial sebagai sarana berinteraksi ataupun alat berkomunikasi, tetapi juga digunakan sebagai cermin yang mencerminkan siapa mereka, bagaimana mereka ingin dilihat oleh dunia, dan apa yang mereka nilai.
Perlu kita sadari bahwa media sosial telah membawa berbagai perubahan signifikan bahkan pada tatanan sosial, seperti dalam cara bagaimana remaja berinteraksi dan membangun hubungan sosial dengan orang lain. Media sosial telah mewadahi para remaja untuk berkomunikasi dengan teman-teman, kerabat, keluarga, maupun untuk mengenal orang orang baru di seluruh penjuru dunia dengan beragam latar belakang dan pandangan yang berbeda.
Media sosial memberi para remaja tempat untuk mengekspresikan diri mereka, mengungkapkan hobi, minat, bakat, maupun gaya hidup. Selain itu, media sosial lebih dari sekedar alat berkomunikasi yang dimana menyediakan berbagai macam platform untuk membangun citra diri para remaja dimana mereka dapat mengunggah foto, video, maupun pengalaman diri mereka.
Dalam upaya untuk mendapat validalitas atau pengakuan teman sebaya, banyak remaja seringkali menghabiskan banyak waktu dan cara untuk menciptakan citra maupun konten yang dapat menarik perhatian khalayak umum seperti salah satunya ialah fenomena flexing.
Flexing pada umumnya telah menjadi bagian yang signifikan dari budaya remaja zaman sekarang. Flexing, atau sering disebut "stunting" dalam bahasa gaul, memiliki arti suatu tindakan memamerkan harta benda seperti kekayaan materi, gaya hidup mewah, dan prestasi yang sudah dicapai kepada orang lain melalui berbagai platform media sosial.
Dengan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok, dan masih banyak lagi, fenomena flexing telah menjadi sorotan dalam kehidupan remaja. Fenomena ini menjadi refleksi bagaimana peranan media sosial yang telah mengubah cara remaja dalam berkomunikais, berinteraksi, dan membangun citra diri mereka atau lebih sering disebut sebagai personal branding.
Salah satu alasan kuat di balik fenomena flexing ini ialah dorongan kuat untuk mendapatkan pengakuan sosial dan validasi dari khalayak umum.
Fenomena flexing memiliki akar yang dalam dalam Sejarah manusia apalagi dengan adanya perkembangan teknologi dan media sosial yang menjadikan fenomena ini mudah diakses oleh orang banyak dan menonjol. Sebelum adanya media sosial, flexing biasanya sangat terbatas oleh interaksi langsung, seperti jika seseorang memamerkan tas baru mereka kepada teman teman atau memakai pakaian mewah saat menghadiri acara sosial.
Hal ini juga sering kita lihat dalam dunia selebriti, dimana orang orang terkenal akan memamerkan gaya hidup, barang mewah, maupun pretasi mereka melalui televisi, majalah, maupun wawancara. Pengaruh para selebriti yang sering flexing bahkan hingga sekarang di media sosial memiliki dampak besar terhadap identitas remaja, terlebih lagi masih banyak remaja yang masih mencari jati diri mereka dan dalam pencarian ini, pengaruh selebriti telah menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi identitas remaja.
Selebriti adalah figure yang sering diidolakan oleh remaja. Mereka mendapatkan perhatian melalui karya karya mereka, prestasi mereka, dan bahkan gaya hidup yang mereka tampilkan di media sosial. Ketika selebriti memamerkan kemewahan dan prestasi mereka, banyak remaja cenderung terinspirasi dan tertarik untuk mendapatkan maupun gaya hidup yang serupa. Dengan melihat selebriti yang mengenakan pakaian mewah, berlibur di berbagai destinasi, atau memiliki barang barang mewah membuat mereka semakin merasa ingin menduplikasi atau menikmati apa yang mereka lihat dari para selebriti tersebut.