Tembakau merupakan salah satu tanaman wajib dalam sistem Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Pada masa penjajahan di Sulawesi Selatan, tembakau dimanfaatkan untuk dijual kemudian hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk membeli kebutuhan persenjataan yang dibutuhkan untuk melawan penjajah pada masa itu.
Pada awalnya penjualan tembakau hanya dilakukan di sekitaran daerah Sulawesi Selatan saja kemudian berkembang ke Pulau Jawa seperti Surabaya hingga akhirnya bisa menembus pasar luar negeri seperti Jerman.
Ada pun salah satu daerah di Sulawesi Selatan tepatnya di Cabenge di Kabupaten Soppeng sekitar tahun 1960-an berkembang Industri tembakau dengan sistem pengelolaan yang masih sederhana.
Berdirinya Industri tembakau di daerah ini merupakan bagian dari usaha memanfaatkan peluang segmen pasar yang cukup potensial, khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah sebagai penunjang ekonomi.
Akan tetapi perkembangannya tidak begitu pesat dibanding industri-industri di Jawa yang menggunakan sistem pengelolaan yang modern, sehingga segmen yang diprioritaskan pun tidak mengalami perubahan, yakni di kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Keberadaan industri tembakau di Cabenge ini tetap bertahan sebagai salah satu basis ekonomi rakyat, meskipun sering kali mengalami naik-turun karena tidak dapatnya bersaing dengan produksi rokok dari Jawa. Namun setelah bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi, industri rokok di Cabenge dapat bangkit kembali.
Hal ini disebabkan karena naiknya harga rokok dari luar, sehingga harga rokok produksi dari daerah ini dapat dijangkau oleh masyarakat bawah. Ada beberapa macam industri tembakau yang berkembang di daerah Cabenge. Ada yang khusus hanya menjual tembakau kering yakni petani penghasil tembakau itu sendiri adapula industri yang khusus mengolah tembakau kering tersebut.
Ico timpo jenis produksi ini dipasarkan dalam sistem yang sederhana dengan menggunakan tenaga kerja yang cukup ahli dalam bidangnya. Tidak banyak orang yang mampu untuk mengembangkan usaha seperti ini karena dari proses pembuatan dan pemasaran sangat sulit serta bahan baku dalam pembuatan rokok Bugis ini pun tergolong susah didapatkan.
Hal tersebut dikarenakan pada saat sekarang ini, petani tembakau sudah sangat jarang ditemukan dimana petani yang dulunya menanam tembakau sekarang ini lebih memilih untuk bercocok tanam tanaman lain seperti padi dan memelihara ulat sutera karena dianggap lebih menjanjikan keuntungan daripada tembakau yang hanya dapat ditanam sekali setahun tepatnya hanya pada musim kemarau.
Selain itu, proses pembuatannya membutuhkan waktu berhari-hari untuk membuat rokok atau ico timpo sehingga dapat dipasarkan ke konsumen ditambah dengan kehadiran industri lain yang membuat kemerosotan dalam pemasaran industri tradisional ini. Gencarnya kampanye anti tembakau dan meningkatnya hambatan Perdagangan tembakau dan produk tembakau. Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan kemunduran dari industri ico timpo di Cabenge.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H