Lihat ke Halaman Asli

Hardiknas 2015 dan Jaminan Keamanan Bagi Guru

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

hardiknas neil and ferdi

Dunia pendidikan nasional akan memperingati Hari Pendidikan Nasional yang berusia lebih dari satu dasawarsa. Kesempatan untuk mengevaluasi, kinerja pendidikan yang berlangsung di Indonesia selama ini beserta elemen-elemen pentingnya.

Salah satu elemen penting dalam dunia pendidikan adalah guru. Tanpa guru, kegiatan belajar mengajar tidak dapat terlaksana. Lalu bagaimana dengan nasib para guru saat ini? Adakah yang masih peduli dengan mereka? Coba saja tanyakan kepada para pelajar saat ini, siapakah di antara mereka yang serius bercita-cita menjadi guru? Pasti sedikit sekali jumlahnya. Mayoritas pelajar memiliki cita-cita menjadi dokter, pilot, sekretaris, pengacara dan macam-macam profesi lainnya yang mereka anggap sukses. Guru dalam benak mereka adalah orang-orang sederhana yang menjalani profesi untuk mencari sesuap nasi demi menghidupi keluarganya. Belum lagi bayang-bayang mengerikan yang sering tampak dari polarisasi beberapa kasus yang menimpa mereka, kriminalisasi profesi guru. Jika memang dalam beberapa kasus, benar terdapat kesalahan oknum guru. Namun banyak diantara kasus-kasus tuduhan kriminal pada guru, adalah tanpa bukti kuat. Sayangnya, masyarakat sudah terlanjur menghukum dengan pandangan negatif mereka tentang sosok guru tersebut. Sedemikian buruknya kah nasib guru Indonesia? Sekelumit nasib guru JIS Bila dibandingkan dengan awal mencuatnya kasus pelecehan seksual di JIS bulan Maret 2014 silam, kelanjutan peristiwa ini mungkin tidak seheboh dulu, meskipun di media massa masih tetap diberitakan. Ya, fakta-fakta pendukung yang ada semakin mengarahkan kalau para petugas kebersihan dan dua guru yang dituduh melakukan pelecehan seksual, yaitu Neil Bentleman dan Ferdinant Tjiong, sebenarnya tidak bersalah. Namun ternyata, hukum di Indonesia bukan mengacu pada bukti-bukti. Entah apa motivasinya, semua bukti-bukti yang membantah tuduhan tersebut dimentahkan begitu saja oleh pengadilan. Pada akhir Desember 2014 lalu, dengan hanya berdasarkan pada BAP awal yang sudah ditarik tersangka, vonis dijatuhkan 7-8 tahun penjara plus denda Rp 100 juta kepada masing-masing petugas kebersihan PT ISS yang bekerja di JIS. Sementara nasib 2 guru JIS, Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong juga jauh lebih berat vonisnya. Pada 2 April lalu, mereka diputuskan bersalah atas tuduhan kekerasan seksual dengan dasar hukum analisa dokter ahli seksologi yang menyangka mereka memiliki perilaku seksual menyimpang serta konflik yang terjadi dalam rumah tangganya. Guru adalah profesi mengkhawatirkan Beberapa bulan silam, ada informasi bahwa salah satu faktor pemuda di Australia enggan menjadikan guru sebagai profesi adalah mudahnya sosok guru dikriminalisasi oleh siapa saja yang menginginkannya. Hanya alasan sepele atau salah pahampun, bisa menyeret seorang guru ke meja hijau dan mendekam di penjara. Karirnya hancur seketika, bersama reputasinya sebagai pendidik. Betapa besarnya peran guru dalam hidup kita semua. Namun, apa yang didapat oleh para guru sebagai imbalannya? Pahlawan tanpa tanda jasa. Sepertinya julukan itu benar-benar melekat pada profesi guru sehingga jangankan tanda jasa, penghargaan saja tidak pernah mereka dapatkan. Guru juga manusia. Di balik profesinya yang mulia, dihormati, yang dituntut untuk selalu memberi contoh yang baik, sebagai manusia yang digugu dan ditiru, namun jika ancaman kriminalisasi masih membayangi akan menyulitkan mereka bertahan di profesi itu. Bukan mustahil, masyarakat akhirnya meremehkan pekerjaan seorang guru akibat tuduhan-tuduhan negatif yang terjadi. Yang paling mengkhawatirkan justru degradasi mental guru, dimana mereka menjadi guru bukan lagi sebagai pengabdian kepada kemanusiaan. Sebab kalau mental guru sudah berubah bagaimana nasib anak-anak didik mereka? Seperti kata pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” . Pepatah tersebut menggambarkan bahwa keburukan yang guru lakukan dapat ditiru oleh para siswa dan bahkan mereka dapat berlaku lebih buruk. Menyadari pentingnya peran guru dalam pendidikan nasional, seharusnya pemerintah dapat lebih menjamin bukan hanya kesejahteraan mereka namun juga keamanan mereka agar tak menjadi obyek kriminalisasi. Dunia pendidikan adalah dunia yang harus bebas dari ancaman ketakutan, baik pada siswa apalagi terhadap guru. Nasib buruk 2 guru JIS yang dijebloskan ke penjara tanpa bukti kuat, hanyalah satu dari beberapa kasus kriminilasasi terhadap dunia pendidikan yang terjadi di Indonesia. Sebab nyatanya, publik saat ini sudah bisa memahami adanya rekayasa dalam kasus JIS itu bermotifkan keuntungan yang digulirkan dalam gugatan perdata yang tengah berjalan. Neil dan Ferdi adalah “tumbal” yang harus dikorbankan dalam kasus tersebut, agar tuduhan negatif itu mendapat dukungan publik sehingga keuntungan materil mudah dicairkan. Kalau nasib buruk guru kemudian diikuti dengan rendahnya peminat masyarakat yang menjadi guru, lalu akan bagaimanakah nasib pendidikan di negara kita selanjutnya? Berita di televisi pernah menayangkan ada banyak sekolah di Indonesia yang kekurangan tenaga guru sehingga satu guru harus mengajar dua sampai tiga kelas dalam waktu yang bersamaan. Dengan keadaan seperti itu tentu saja tidak akan ada jaminan kualitas pendidikan, maka tidak akan tercipta generasi muda yang berkualitas untuk membangun negeri ini untuk menjadi lebih baik. Semangat Hardiknas tahun 2015 ini harus dijadikan momentum, untuk melindungi profesi guru dari berbagai ancaman kriminalisasi dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline