Lihat ke Halaman Asli

Belajar Soal Penangkapan Guru JIS dari Kasus Wakil Ketua KPK

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mantan Wakapolri, Komjen (Purn) Oegroseno bersuara lantang soal penangkapan yang dilakukan aparat Bareskrim Mabes Polri terhadap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjayanto. Ia mengungkapkan bahwa proses penangkapan orang nomor 2 di KPK itu sangat janggal (detik.com). Oegroseno menyoroti tahap-tahap penyelidikan yang dilakukan Polri terhadap Bambang secara detail.

Di Senayan, mantan orang nomor 2 di Polri itu blak-blakan bicara berbagai kejanggalan yang terjadi itu. Pertama, dia menyoroti soal laporan terkait Bambang yang pernah dicabut, lantas dimasukkan kembali ke Bareskrim pada 19 Januari 2015.

"Makanya sekarang kalau dicabut dan dilaporkan kembali, itu akrobat. Harusnya kan dikumpulkan dulu fakta-fakta di lapangan. Polisi itu tugasnya membuat terang suatu perkara, bukan mengumpulkan barang bukti. Kalau mengumpulkan barang bukti itu namanya pemulung barang bukti. Nggak boleh!" kritik Oegroseno.

Selanjutnya, tahapan sebelum tersangka dicokok haruslah diawali dengan pemanggilan saksi-saksi. Baru setelah itu ada pemanggilan tersangka. Bila tersangka yang bersangkutan adalah pejabat negara, seperti Bambang, maka seharusnya penangkapan dibicarakan dulu sampai tingkat Kapolri.

Kesimpulannya, penetapan Bambang sebagai tersangka tak memenuhi tahap-tahap formal seperti yang diutarakan Oegroseno. Dengan kata lain, langkah Bareskrim terhadap Bambang Widjojanto: cacat!

"Sekarang kalau mau digugat surat keputusannya Kabareskrim itu sudah cacat hukum. Jadi ke bawah cacat hukum semua, di PTUN kan," ujar Oegroseno.

Janggalnya Penangkapan 2 Guru dan Cleaners JIS

Keterangan Oegroseno sebagai mantan orang penting di Mabes Polri itu tentu tak diragukan lagi, artinya prosedur penetapan tersangka yang dikatakannya adalah prosedur resmi yang semestinya dilakukan oleh aparat. Menarik, jika dibandingkan antara penangkapan Bambang Widjayanto dengan para tersangka kasus tuduhan asusila di Jakarta Intercultural School (JIS) ternyata banyak kemiripan modus.

Sebelumnya, 6 petugas kebersihan JIS yang ditangkap oleh aparat juga tidak pernah menunjukan surat perintah penangkapan. Bahkan, beberapa tersangka merasa dijebak saat penangkapan karena dibohongi bahwa penjemputan dirinya adalah urusan pekerjaan.

"Saya tahunya disuruh atasan saya membersihkan kelas yang di JIS Cilandak, kok tahu-tahu dibawa ke Polda Metro Jaya", ungkap Zaenal. Ternyata, teman-temannya sudah berada disana dengan pengalaman yang sama persis yaitu ditangkap tanpa surat perintah resmi.

Begitu juga dengan proses penangkapan Neil Bentlement dan Ferdinant Tjiong, yang sesungguhnya kedatangan 2 guru itu adalah memenuhi panggilan guna memberikan keterangan perihal kasus yang terjadi.

"Ternyata, Neil dan Ferdi ditangkap malam itu juga dan suratnya baru dibuat setelah mereka ada ditahanan", ujar Elsa, Kepala Sekolah TK dan SD di JIS. Belum lagi paksaan penyidik, agar keduanya menandatangani BAP yang sudah dibuat.

"Beruntung, Neil dan Ferdi menolak menandatangani BAP tersebut", ujar Elsa yang yakin bahwa hal tersebut dapat menjebak mereka dalam kasus yang semakin rumit.

Sayangnya, para petugas kebersihan yang dijadikan tersangka tak seberuntung 2 guru itu. Selama beberapa bulan penangkapan dan penyidikan, tak satupun pengacara diberikan untuk mendampingi mereka.

Terang saja, sekuat apapun bantahan mereka ternyata tubuh dan mentalnya tak sekuat itu. Pendirian untuk tidak mengakui perbuatan bejat yang tak pernah mereka lakukan, harus kalah saat melihat salah satu rekannya bernama Azwar tewas di toilet Polda Metro Jaya.

"Akhirnya, kami harus menandatangani BAP juga", ujar Syahrial.

Sikap dan dukungan yang sama terhadap korban rekayasa kasus JIS

Dengan BAP yang berisi pengakuan fiktif itulah, para pekerja kebersihan diseret ke meja hijau Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Anehnya lagi, saksi-saksi baru bermunculan saat gelar perkara itu disidangkan.

Padahal jika mau belajar dari Komjen (Purn) Oegroseno saat diwawancara detik.com, ia menuturkan bahwa alasan dilakukan penahanan itu ada tiga. Satu, dikhawatirkan mempersulit penyidikan, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya.

"Selama tiga ini enggak dilakukan, enggak bisa ditahan," tegas Oegroseno.

Karena itu, dirinya pernah menyarankan, jika mungkin tersangka itu tidak usah di BAP. Sebab menurutnya, semua tersangka berhak diam, dan bisa menggunakan haknya untuk berbicara di pengadilan.

"Selama ini kan KUHAP mengharuskan tersangka BAP, ya di situlah terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM. Kalau di Amerika kelakuan polisi kayak begini, sudah dipecat-pecat dari kemarin, cukup gubernur yang mecatnya," tegasnya.

Karena itu, kita patut bersikap kritis atas setiap tindakan penangkapan yang cacat hukum bahkan cenderung melanggar HAM. Jika terhadap wakil ketua KPK publik bisa memberikan dukungan dan pembelaan penuh, sebab betapa mereka melihat ada yang salah disana, maka sikap serupa juga layak diberikan kepada orang-orang kecil seperti Neil dan Ferdi serta 5 petugas kebersihan JIS. Karena dalam kasus rekayasa JIS, mereka adalah korban sesungguhnya.

Kesimpulan yang sama, seharusnya bisa diberikan dalam kasus JIS ini, yaitu kasusnya cacat hukum! Tentunya, konsekwensinya adalah membebaskan para tersangka, terlebih sampai hari ini tidak pernah ada bukti apapun yang dapat diajukan dan membenarkan bahwa tuduhan asusila itu benar-benar ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline