Lihat ke Halaman Asli

MEA di Ruang Khayali

Diperbarui: 18 Desember 2015   20:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ingatku waktu itu. Putih ruangan pancarkan cahaya seolah temboklah yang bersinar, sinar pagi yang telah nampak. Aku yang berada dalam ruang tenggelam oleh putihnya ruangan, sadari hal itu ternyata bukan hanya aku yang tidak berseragam putih. Ada wajah kawan kawan. Sofa dan forniture lainnya pun sumbangkan warna selain putih, sedang meja meeting dan kursi yang topang tubuhku juga seputih susu, putih mengental. Warna memang menarik membikin mata senang menginderanya. Karena warna memiliki unsur yang sangat tajam untuk menyentuh kepekaan penglihatan sehingga mampu merangsang munculnya mood, gembira, atau pun semangat dan memengaruhi lahirnya sugesti kemudian picu muncul naluri khayali.

Ya, memang dunia khayal menarikku terus, jadinya dimensi ruang berubah ubah terasa. Sudut-sudut ruang memunculkan bayang wajah kawan yang tidak ikut duduk bersama, bergantian slide demi slide. Wajah yang akrab bertandang ke ruang ini, di ruang berbagi. Sementara mereka kawan yang di depanku di meja yang sama adalah kawan yang memiliki deposit pengetahuan untuk berbagi warta terkini soal MEA. Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Aku tetap duduk di kursi putih menghadap meja meeting. Kepalaku masih merekam bulat soal pasar bebas Asia Tenggara. Dan jika ku susun ulang informasi yang terindera dari kawan, mungkin seperti ini: Terdapat empat hal yang menjadi fokus MEA. Kesatu, negara-negara di kawasan Asia Tenggara akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan begitu maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal  besar dan tenaga ahli menjadi bebas, tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya dikawasan Asia Tenggara. Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, memerlukan suatu kebijakan yang meliputi persaingan sehat adil, perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual(HKI), perpajakan, dan E-Commerce. Ketiga, MEA pun akan dijadikan kawasan perkembangan ekonomi yang merata dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing UKM ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan SDM untuk hal keuangan, serta teknologi. Keempat, MEA meningkatkan koordinasi dan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangan paket bantuan teknis kepada negara negara anggota ASEAN yang kurang berkembang.

Jadi, MEA adalah satu langkah dari ASEAN untuk mengawang ekonomi di negeri Asia Tenggara. Aku mungkin masih perlu belajar tentang peran MEA agar lebih pahami, agar tidak ada kekhawatiran yang bikin gelisah. Gelisah, kata ini mestinya kita pahami sebagai kewaspadaan terhadap resiko. Gelisah! Gelisah! Terdengar suara dari kawan yang lain, lalu kufokuskan gendang telinga untuk menyimaknya. 

Akan muncul barang impor, mengalir dalam jumlah banyak hingga ke pintu depan rumah kita, mengancam industri rumahan dalam bersaing dengan barang luar negeri yang kata iklan lebih berkualitas. Jadinya makin gelisah jika sampai bangsa ini hanya menjadi penonton di negaranya sendiri pada tahun-tahun mendatang. Kawan ini menutup kalimatnya seperti alarm peringatkan, seolah-olah yang dihadapannya si penentu kebijakan. Konten percakapan yang cukup serius buatku, namun aku tetap tenang mendengarkan. Ah, MEA. Akronim ini bikin melayang layang pikiran seakan tanpa bumi tempat berpijak.

Benar saja. Pikiranku melayang ke daerah muasalku yang terpencil di selatan. Terlampau jauh untuk bisa dengar derap orang-orang utara bangsa Asia Tenggara. Disana, masih menyaksikan anak-anak bertelanjang kaki dengan jari-jari menerompet ke tanah bila berangkat ke sekolah, ada pemahaman yang berlaku bahwa pendidikan sebagai syarat peroleh pekerjaan. Jadi, hal yang lumrah bila para orang tua sekolahkan anaknya demi dapat kerjaan dengan gaji bergengsi yang miliki dana pensiun. Pernah dengar kabar yang beredar, banyak warga yang berangkat ke rantauan, mulai dari yang belum pernah duduki bangku sekolah sampai ke yang lupa kalau namanya masih terdaftar di universitas. Mereka pergi membanting tulang untuk mengumpulkan kekayaan melulu. Pulang hanya untuk dikagumi orang, memperbaiki rumah, beli kendaraan yang lebih sering diam di kolong rumah. Kondisi ini yang bikin geram, mungkin ada kesadaran tapi tak berdaya. Semakin lama semakin bingung dengan riuhnya pikiran dan alasan begitu banyak orang soal cara hidup masing-masing. Entah lupa atau mereka belum tahu, kalau tidak lama lagi orang-orang Asia Tenggara lainnya akan datangi tanah leluhurnya, tanah subur lahan pasar bagi bangsa-bangsa Asia, datang tinggalkan negaranya yang sesak untuk mencari madu hidup lalu pulang kembali ke asalnya. 

Lebih jauh lagi di utara sana, sipit memekik-mekik karena bukan hanya produk murahnya saja sesaki pasaran nusantara, juga buruh pun di datangkan. Tetapi tukang-tukang disini diam-diam saja tidak berteriak, apa mereka tidak mengerti mengapa rejeki semakin keriting. Treeeeek..
Derik panjang suara pintu ditarik. Suara itu yang mengembalikan fokusku pada ruang yang didominasi warna putih. Satu kawan telah lewati pintu pindah ke ruang belakang, kawan sisanya terlihat sibuk dengan ponsel cerdasnya masing-masing.

4.Nov.2015.
Saff_DC.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline